PADA mulanya kekaraengan Mandalle terbentuk dari peleburan tiga persekutuan hukum adat yang didirikan oleh orang Bugis, yaitu Katena, Mallawa, dan Mandalle. Menurut cerita, yang pertama – tama berdiri ialah Katena yang melingkupi daerah Kampung Boddie, Katena, Manggalung, Macciniajo, dan LokkaE. Arajang dari Katena adalah sebilah bajak (rakkala). Kemudian barulah berdiri persekutuan hukum Mallawa dan persekutuan hukum Mandalle. Dalam Abad XVII, ketiga persekutuan hukum adat itu mengakui kekuasaan tertinggi (souverniteit) dari Kerajaan Gowa. (Benny Syamsuddin, 1985).
Kepala persekutuan Mandalle digelar pada waktu itu Lokmo. Menurut nota Admiral Cornelis Speelman, Tahun 1669, persekutuan – persekutuan hukum adat Katena, Mallawa dan Mandalle, pada waktu itu tidak lagi masuk daerah kekuasaan Gowa, akan tetapi masuk daerah kekuasaan Kerajaan Tanete, keadaan mana berjalan sampai tahun 1824, yaitu sewaktu Belanda menaklukkan Tanete dalam suatu peperangan. Antara Tahun 1824 dan 1829 ketiga persekutuan hukum adat tersebut, menjelma menjadi satu keregent-an (regentschap) dengan nama Mandalle. Yang mula – mula menjadi Kepala Regent di Mandalle ialah Mallewai Daeng Manimbangi, anak dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung (kemudian digelari MatinroE ri Lalengtedong) di daerah Laut, yaitu seorang keturunan dari Raja Tanete dan Luwu. Beliau adalah putera dari Datu Marioriwawo yang bernama La Mauraga Daeng Malliungang (Matinroe ri Mallimongang).
Dalam Lontara’ Bilang (Buku Harian) Raja Gowa dan Tallo’, tercatat bahwa Lokmo Mandalle berangkat dengan tidak lebih dari Sembilan perahu ke Bima dan menaklukkan kerajaan itu. Setelah La Mallewai Daeng Manimbangi wafat (MatinroE ri Kekeang) dalam tahun 1848, maka beliau digantikan oleh puteranya yang bernama La Sumange Rukka Karaeng Kekeang. Dalam tahun 1861, beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama La Pallawarukka Daeng Mallawa. Sewaktu beliau wafat dalam tahun 1909, Keregent-nan Mandalle dihapuskan dan digabungkan dengan Keregent-nan Segeri dengan surat keputusan Gubernoumen tanggal 27 Juni 1910 N0. 34.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada Tahun 1819, Mandalle dicabut dari Keregent-nan Segeri dan dijadikan kembali sebagai kekaraengan yang berdiri sendiri sebagaimana telah dijelaskan di awal. Yang diangkat menjadi Karaeng di Mandalle, menurut surat penetapan Gubernur Celebes dan daerah takluknya tanggal 18 Desember 1819 No. 241/XIX ialah La Dongkang Daeng Massikki yang beristerikan I Tuwo Petta Boddi, puteri dari Regent Mandalle, La Pallawarukka Daeng Mallawa. La Dongkang Daeng Massikki adalah putera dari Kepala Regent Pangkajene, La Djajalangkara Daeng Sitaba, cucu dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung tersebut dari garis keturunan La Mauraga Dg Malliungang Datu Mario ri Wawo Matinroe’ ri Malimongang, Tahun 1801.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Menurut Staatsblad (lembaran Negara No. 352 tahun 1916, ditetapkan Onderfadeeling Pangkajene, terdiri dari lima district adat, yaitu gemeenschap (kekaraengan) Pangkajene, Labakkang, Balocci, Ma’rang dan Segeri. Nanti pada Tahun 1918, atas dasar surat dari “Eeste Gouvneur Sekretaries, 4 Agustus 1917 maka Gouverneur van Celebes en Ondehorigheden (Gubernur Celebes dan daerah takluknya melalui suratnya tanggal 13 Juli 1918, No.124 / XIX memecah wilayah adat gemeenschap Segeri menjadi wilayah adat gemeenschap Segeri dan wilayah adat gemeenschap Mandalle.
Dengan demikian, resmilah Mandalle sebagai salah satu dari tujuh wilayah karaeng adatgemeenschap Onderafdeeling Pangkajene, setelah dua hari sebelumnya juga telah dilakukan pemecahan wilayah adat gemeenschap Pangkajene, ditambah wilayah karaeng adatgemeenschap Bungoro. Kekaraengan Mandalle dalam Tahun 1920 diketahui terdiri atas 15 Kampung (Benny Syamsuddin, 1985), yaitu :
1. Kampung Katena
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
2. Kampung Macciniajo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
3. Kampung Boddie
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
4. Kampung Malawa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
5. Kampung Topong
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
6. Kampung Lokkae
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
7. Kampung Manggalung
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
8. Kampung Gallaraja
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
9. Kampung Gallalau
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
10. Kampung Mandalle
(Kepala Kampungnya bergelar Gallarang) ;
11. Kampung Tamarupa
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
12. Kampung Kekeang
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
13. Kampung Mangaracamlompo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
14. Kampung Mangaracamcaddi
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa)
15. Kampung Lamasa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa).
Beberapa Karaeng Mandalle yang populer dan masih segar dalam memori masyarakat Mandalle ialah La Dongkang Daeng Massikki (Karaeng Mandalle, 1918) [1], yang kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Mandatjingi [2]. Karaeng Andi Mandacingi dikawinkan dengan Tenri Olle, seorang puteri bangsawan dari seorang kerabatnya dari Maros. Kemudian ia menikah lagi dengan Andi Amatullah Sompa Warune, puteri Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng [3]. Dari perkawinan Andi Mandacingi dengan Andi Amatullah Sompa Warune ini menurunkan putera puterinya, yaitu Andi Dharifah Tenri Awaru (1940), Andi Saiful Muluk Tenri Angka (1942), Andi Fahru Pallawa Rukka (1945), Andi Haerul Muluk Sumange Rukka (1947), Andi Nohar Tenri Esa (1950), Andi Ajaib Singkeru Rukka (1956), dan Andi Syafril Hazairin Tappu Rukka (1963). Pada masa menjalankan pemerintahan sebagai Karaeng Mandalle, Andi Mandacingi juga merangkap Ketua Dewan Hadat Pangkajene saat kekaraengan Pangkajene dipegang oleh Andi Burhanuddin, beliau kemudian digantikan oleh adiknya bernama Andi Sakka sebagai Karaeng Mandalle yang terakhir.
[1] La Dongkang Daeng Massikki ini bersaudara dengan La Mauraga Dg Malliungang dan La Mattotorang Dg Mamangung (keduanya Karaeng Pangkajene). Ketiganya adalah anak dari Karaeng Pangkajene, La Djajalangkara Dg Sitaba, Karaeng Pangkajene, 1873 dari garis keturunan La Pappe Daeng Massikki (Karaeng Pangkajene Matinroe ri TumampuE, 1857/1885) yang juga bersaudara dengan La Mallewai Dg Manimbangi (Karaeng Mandalle, 1829) dari garis keturunan La Abdul Wahab Mattotorangpage Dg Mamangung Karaeng Segeri Karaeng Lau ri Marusu Matinro-E ri Lalengtedong, 1829. (Benny Syamsuddin, 1989 : 36). La Dongkang Dg Masikki berputera puteri 4 orang, yaitu Andi Mandacingi, Tenri Kawari Karaeng Bau, diperisterikan oleh Andi Mappe Dg Massikki Karaeng Lau ri Marusu, Andi Sakka Petta Lolo (Sullewatang Mandalle), dan Andi Enrekang (Petta Enre).
[2] Andi Mandacingi, sebagaimana sepupu satukalinya, Andi Burhanuddin, Karaeng Pangkajene (1942-1946) adalah pejuang dan perintis kemerdekaan RI, beliau berdua adalah pelopor berdirinya Barisan Pemuda Merah Putih (BPMP), organisasi kelaskaran dan kejuangan di Pangkep yang gesit melawan Belanda dan Pasukan Sekutu (NICA). Setelah keduanya tidak aktif lagi sebagai Karaeng Mandalle dan Karaeng Pangkajene mereka diminta sebagai residen diperbantukan di Kantor Gubernur Sulawesi. (Makkulau, 2007).
[3] Andi Amatullah Sompa Warune, yang diperisterikan Andi Mandacingi adalah seorang puteri bangsawan yang terpelajar, lulusan pendidikan HIS di Sengkang sehingga beliau banyak memahami dan membantu suaminya dalam perjuangan kemerdekaan. Andi Amatullah Sompa Warune adalah puteri pasangan Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng dengan Andi Cakkupe puteri dari La tenri Dolong Baso Bila Datu Citta. Tenri Dolong sendiri adalah putera dari La Mattalatta Arung Bila dengan isterinya Datu Walie Petta Bulu Langi. La Mattalatta putera dari Taggamette Datu Citta dengan isterinya I Hindong Arung Bila puteri La Pute Isi. Adapun Tagamette bersaudaranya diantaranya La Patau Datu Tanete adalah putera dari La Maddusila To Pangewa Datu Tanete dengan isterinya Tenri Seno ( I Seno Tenri Bali ) Datu Citta puteri dari La Mappaossang, Mangkaue ri Bone XXII (Raja Bone ke-22). (Sumber : H Maddusila, AM).