Oleh : H. Syaharuddin Kaseng *)
I. Pendahuluan
Menelusuri sejarah kelahiran suatu daerah atau ibukota suatu daerah mempunyai makna yang cukup penting oleh karena dalam usaha tersebut akan terkait pula usaha untuk mengkaji kembali berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa silam di daerah tersebut, baik aspek sosial, budaya, politik pemerintahan, ekonomi, hukum maupun aspek keamanan pertahanannya.
Dalam mengkaji berbagai aspek kehidupan masyarakat pada masa silam akan muncul sedikitnya dua hal yang berguna untuk menjadi bahan renungan dan menjadi pelajaran bagi kita yang hidup sekarang, yakni :
1. Kelemahan – kelemahan yang dilakukan oleh pelaku – pelaku sejarah tersebut pasa masa silam yang diharapkan tidak akan terulang kembali oleh penentu tonggak sejarah pada masa sekarang.
2. Kekuatan – kekuatan yang dimiliki yang diharapkan dapat diteladani dan dikembangkan selanjutnya bagi sumbangan kita bagi pengembangan nasional.
Peristiwa yang terjadi di ibukota Dati II Pangkep pada saat sekarang ini yaitu Seminar tentang Sejarah Kelahiran Ibukota Pangkep, makin dirasakan urgensinya karena yang memeloporinya adalah kaum muda yang tergabung dalam Pengurus DPD II KNPI Pangkep.
Dari segi pentingnya pembinaan generasi muda yang sedang dipersiapkan untuk mengambil alih tongkat estafet kepemimpinan bangsa yang sedang dipegang oleh Angkatan ‘45 dan Angkatan ‘66 dengan persiapan yang cukup matang dan dengan penuh tanggung jawab maka usaha mengkaji masa silam penting dilakukan sehubungan dengan tiga hal :
1. Mengkaji sejarah, generasi muda dapat memahami masa sekarang dan dapat mengantisipasi masa depan dengan lebih baik,
2. Menelusuri sejarah dan berkemauan membandingkannya dengan masa sekarang akan memberikan buah pengetahuan tentang siapa pelopor pembaharu setiap keadaan yang jenuh dan pelopor pembebasan dari setiap keterikatan dan keterbelakangan, yaitu tiada lain dari generasi muda.
3. Generasi muda yang kaya pengetahuan tentang sejarah dan mampu membaca situasi sekarang, mereka dapat membuat persiapan lebih baik menghadapi masa depan agar mereka tidak salah langkah, khususnya dalam meneruskan estafet kepemimpinan.
Sehingga, dengan timbulnya kata sepakat nanti tentang Hari Kelahiran Pangkep ini tidak sekedar merupakan acara perayaan rutin melainkan akan menjadi tonggak monumental untuk merenungkan nilai – nilai luhur yang ditinggalkan oleh leluhur kita, baik yang berbentuk materiil maupun non materiil.
II. Upaya Menelusuri Kelahiran Pangkajene
Seperti yang kita ketahui bahwa daerah yang menjadi sorotan seminar adalah salah satu dari 23 kabupaten / kotamadya di Sulawesi Selatan yang berstatus Daerah Tingkat II / Kabupaten, yakni Kabupaten Dati II Pangkajene Kepulauan yang disingkat PANGKEP. Pembentukan Dati II Pangkep bermula pada masa kemerdekaan, yakni dengan Keputusan Presiden No. 5 Tahun 1960 atas dasar UU No. 29 Tahun 1959 tentang Pembentukan Daerah – daerah Tingkat II di Sulawesi. Daerah Pangkep pada masa itu merupakan salah satu dari 27 Dati II dalam lingkup Pemerintahan Propinsi Sulawesi Selatan – Tenggara [1].
Kalau peristiwa itu yang akan kita angkat sebagai saat kelahiran Pangkep sebenarnya sudah tidak ada masalah. Akan tetapi dengan menetapkan demikian, rasanya masih ada hal – hal yang perlu dipertanyakan, antara lain :
1. Apakah kota ini sebelum bernama Pangkep tidak perlu dipersoalkan lebih lanjut, yakni pada saat masih bernama Pangkajene. Apakah tidak mempunyai andil dalam perkembangan Pangkep sekarang.
2. Bagaimana dan kapan kejadian daerah ini pada awalnya.
3. Bagaimana hubungan dengan nama lain yang muncul dalam berita dari luar (Daerah Pangkep) tentang nama ’Siang’ yang juga menunjuk daerah ini.
Oleh karena itu saya pun berpendapat bahwa mencari masa awal daerah ini hendaknya kita fokuskan pada usaha mencari awal berdirinya / berperannya ibukota Pangkep sekarang ini yakni pada saat bernama Pangkajene.
Tentang asal usul nama Pangkajene, kapan menjadi nama resmi kota ini merupakan hal yang tidak mudah dilakukan karena Bukti – bukti sejarah belum cukup diketahui. Sampai pada saat ini belum ada buku sejarah yang dapat dipedomani secara lengkap untuk menentukan hal itu. Sejarah tiap daerah di Sulawesi Selatan baru merupakan rencana kerja Balai Kajian Sejarah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan Sulawesi Selatan. Meskipun telah ada yang selesai antara lain tentang Sejarah Daerah Maros, tentang Pangkep belum banyak dilakukan.
Dalam usaha menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Kota Pangkajene dan Kepulauan, saya ingin menyarankan tiga pendekatan, yakni :
1. Pendekatan yang berorientasi pada pemberian nama / perubahan nama. Dalam pendekatan ini yang menjadi titik perhatian ialah saat paling awal pemberian nama tersebut, asal usul nama itu, siapa yang memberikan nama tersebut. Pendekatan seperti ini sangat ideal, akan tetapi sangat susah untuk digunakan karena data penunjang biasanya sangat langka. Sumber yang ada biasanya hanya bersifat lisan (narasi tutur) dan pada umumnya terkait dengan mitos yang hidup dan berkembang di masyarakat. Tentang asal usul kata Pangkep masih dapat ditelusuri yaitu berasal dari kata Pangkajene dan Kepulauan karena daerah tersebut merupakan gabungan antara daerah Pangkajene dan daerah kepulauan di sekitarnya. Akan tetapi asal usul kata Pangkajene masih kabur bagi kita.
Menurut informasi yang pernah saya peroleh bahwa kata itu berasal dari kata Bahasa Makassar : ” Pangka ” yang berarti cabang dan ” Je’nek ” yang berarti air, karena di sekitar tempat itu terdapat sungai yang bercabang. Tentang kebenaran informasi itu saya belum dapat memastikannya. Kemudian, kapan nama Pangkajene menggantikan nama yang lebih populer sebelumnya, yakni siang merupakan hal yang belum terungkapkan secara jelas dan belum ditopang oleh fakta sejarah.
2. Pendekatan yang berorientasi pada administrasi pemerintahan dan kebijaksanaan politik.
Setiap daerah senantiasa mengalami perubahan mengenai batas – batas yang disepakati pada saat itu, tentang status serta peranannya dalam menunjang kehidupan masyarakat yang senantiasa berubah pula. Dalam periode sejarah, pendekatan seperti ini biasanya sudah diterapkan karena setiap perubahan dalam administrasi pemerintahan baik mengenai batas daerahnya, maupun status dan peranannya ada dokumen tertulis / resmi seperti perjanjian atau surat keputusan. Dalam hal menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Pangkep sangat mudah dengan menerapkan pendekatan ini. Akan tetapi untuk menelusuri dan menetapkan saat kelahiran Pangkep masih banyak hambatan jika pendekatan ini digunakan kembali kecuali jika orang dapat menyodorkan fakta sejarah berupa dokumen tertulis (perjanjian / kesepakatan atau surat keputusan) tentang hal tersebut.
3. Pendekatan yang berorientasi pada fakta heroisme dan kepeloporan.
Jika pendekatan pertama dan kedua tidak dapat dilakukan karena bukti sejarah kurang menunjang, maka biasanya orang menggunakan pendekatan ketiga, yakni mencari momen yang berarti apakah itu berupa heroisme atau kepeloporan atau suatu perubahan kebijakan yang membawa perbaikan terhadap nasib masyarakat umum. Jika terdapat beberapa momen yang mempunyai arti seperti tersebut diatas, tentu akan dipilih mana yang lebih besar bobotnya bagi perbaikan kepentingan masyarakat banyak pada saat itu dan itulah diajukan untuk disepakati bersama.
Tiga pendekatan tersebut diatas tidak saling menunjang atau saling bertentangan. Kalau kita memakai pendekatan pertama dan kedua, maka pendekatan ketiga dikorbankan dan sebaliknya, jika kita menerapkan pendekatan ketiga maka nilai yang tercantum dalam pendekatan pertama atau kedua dikorbankan.
Untuk menjelaskan diatas, maka baiklah saya mengemukakan hal menyangkut penentuan nama ibukota propinsi Sulawesi Selatan pada saat sekarang ini masih dalam perselisihan pendapat antara Ujung Pandang dan Makassar. Bagi yang mempertahankan nama Ujung Pandang menurut pemikiran saya, mereka berorientasi pada pendekatan pertama sedangkan yang ingin mengembalikan nya kepada nama Makassar menerapkan orientasi ketiga.
III. Pangkep dalam Lintasan Sejarah
Secara kasar, perjalanan sejarah yang dilalui oleh daerah ini dapat dibagi ke dalam tujuh fase perkembangan. Ketujuh fase tersebut akan saya jelaskan satu persatu dibawah ini.
1. Daerah yang berdaulat penuh ;
Pada saat itu, daerah ini dikenal dengan nama Siang, merupakan kerajaan tua di Sulawesi, bahkan ada yang menganggap bahwa Kerajaan ini lebih tua dari Ussu’ (yang kemudian dikenal dengan nama Kerajaan Luwu). Bukan hanya kerajaan tua, tetapi juga daerah kekuasaannya luas.
Kapan berdirinya Kerajaan Siang dan bagaimana perkembangan selanjutnya serta siapa – siapa yang mengendalikan kerajaan itu masih terselubung tabir gelap. Orang memperkirakan bahwa Kerajaan Siang ini bermula pada sebelum Abad XIV dan merupakan cikal bakal Kerajaan – kerajaan di Sulawesi Selatan, disamping Luwu. Tabir kegelapan itu belum dapat disingkap karena kurangnya Sumber – sumber tertulis atau peninggalan purbakala yang dapat meneranginya. Bagi Kerajaan Luwu masih agak baik nasibnya karena masih ada sumber tertulis berupa karya tulis sastra berbentuk ceritera epos yang disebut Sure’ La Galigo.
Keterangan tentang Kerajaan Siang dapat ditelusuri melalui sumber – sumber Portugis. Mungkin karena hambatan penguasaan Bahasa Portugis yang menyebabkan belum dapatnya terungkap tabir kegelapan tersebut. Namun demikian, Titik – titik terang sudah mulai tampak satu persatu karena Orang – orang Perancis yang memiliki bahasa serumpun dengan Bahasa Portugis, dan berdekatan pula daerahnya mulai tertarik meneliti Kebudayaan Daerah Sulawesi Selatan, khususnya Daerah Bugis. Salah satu berita tentang Siang dari sumber Portugis ialah kedatangan Antonio de Payva di Siang di sekitar tahun 1543. Ia seorang Portugis dan atas perintah Gubernur Portugis yang berkedudukan di Ternate untuk membeli kayu hitam dan juga menyebarkan agama Nasrani (katolik). Mula – mula ia tiba di Suppa dan berkenalan secara dekat dengan Raja Suppa yang bernama La MakkarawiE dan berhasil mengajaknya masuk Agama Nasrani. Dari Suppa ia menuju Siang dan berhasil pula mengajak Raja Siang masuk Agama Nasrani dan setelah dimandikan (dibaptis), ia diberi nama Don Joan (Don Joao) (Lihat. Darwas Rasyid dalam Peristiwa Tahun Bersejarah Daerah Sulawesi Selatan dari Abad XIV s.d. XIX). Diberitahukan pula dalam sumber tersebut bahwa raja Siang mempunyai hubungan darah dengan raja Gowa.
2. Daerah takluk Gowa (kira – kira tahun 1600) ;
Sejak kapan Siang menjadi daerah takluk Gowa dan cara bagaimana ia menjadi daerah takluk juga belum jelas bagi kita. Ada pendapat bahwa Siang telah menjadi daerah takluk Gowa sejak Raja Gowa Karaeng Tumapa’risika Kallonna (mulai memerintah tahun 1510) dengan cara peperangan.
Kalau demikian berarti sebelum kedatangan orang Portugis yang disebut terdahulu. Kalau benar demikian tentu telah diberitakan juga oleh orang Portugis tentang hal itu dan tentu Raja Siang tidak akan mengambil langkah selanjutnya sebelum menyampaikannya kepada Raja Gowa.
Menurut perkiraan saya, penaklukan Siang oleh Gowa berkaitan erat dengan upaya pengislaman Daerah – daerah Sulawesi Selatan oleh Sultan Gowa dan cara penaklukan Siang bukan dengan peperangan melainkan dengan perkawinan. Belum ditemukan suatu keterangan tentang rombongan penyerangan Gowa ke Kerajaan Siang, tidak seperti halnya penaklukan Soppeng, Bone dan daerah – daerah lainnya. Saya menduga keras bahwa penaklukan Gowa terhadap Siang berlangsung sekitar tahun 1600, yakni pada saat Raja Gowa XIV, I Manggarangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin Tumenanga ri Gaukanna, putera Karaeng Tunijallo atau saudara kandung Karaeng Tunipasulu’. Raja Gowa ini yang pertama masuk Islam. Ia juga yang membuat meriam “anak mangkasara”. Permaisuri Sultan Alauddin adalah I Mainung Daeng Maccini Karaenga ri Bontoa.
Daerah Siang menjadi daerah takluk Gowa berlangsung kira – kira 67 tahun, berakhir pada saat perang Gowa yang melawan Belanda bersama sekutu – sekutunya. Dalam masa ini Siang dijadikan daerah pembuangan tawanan Gowa termasuk diantaranya La Tenriaji To Senrima (adik La Maddaremmeng) yang mulanya diangkat oleh pembesar dan rakyat Bone sebagai raja bayangan terhadap penguasa yang diakui oleh Gowa yakni To Bala sebagai jennang [2] Kerajaan Gowa. Karena dianggap memberontak maka ia diserang oleh Gowa dan sekutunya (Wajo dan Luwu). Mula – mulanya ia bertahan di Pasempe’ tetapi akhirnya kalah dan ditawan dan dibuang ke Siang pada tahun 1646 dan akhirnya wafat disana dan diberi gelar anumerta matinroe’ ri Siang.
3. Daerah Penentang Kekuasaan Sultan Gowa (1667 – 1672) ;
Orang – orang Siang ikut menentang kekuasaan Sultan Hasanuddin pada saat Belanda menyerang Gowa bersama sekutunya. Pada tanggal 27 Juli 1667 Arung Palakka bersama laskar tiba di Binamu (Jeneponto). Di tempat ini ia berhadapan dengan lascar gabungan Gowa dibawah pimpinan Karaeng Lengkese, Karaeng Karunrung, dan Maraddia Balanipa. Dalam menghadapi lawan yang berat ini Arung Palakka dapat menguasai keadaan karena mendapat bala bantuan Siang.
4. Daerah Persekutuan Bone, Suppa, Tanete dibawah taktis Belanda (1672 – 1860) ;
Pada saat Sultan Hasanuddin kalah dalam peperangan melawan Belanda bersama sekutunya termasuk Arung Palakka, Arung Palakka rupanya tidak berambisi menjadi raja baik di Gowa ataupun di Bone sebagai sekutu Belanda yang memperoleh kemenangan tidak menuntut hal demikian, meskipun pada akhirnya pada tahun 1672 atas kemauan para pembesar Kerajaan Bone, ia diangkat sebagai Raja Bone dan ketua persekutuan seluruh raja yang serikat dalam Perjanjian Bungaya. Diangkatnya sebagai Raja Bone karena pada tahun itu juga Raja Bone La Maddaremmeng wafat. Jika tidak wafat pada saat itu tentu juga belum diangkat menjadi raja.
Dalam periode ini pulalah mulai muncul nama Pangkajene serta perannya dalam perkembangan selanjutnya. Peralihan peranan pusat kerajaan dari Siang ke Pangkajene belum jelas bagi kita. Menurut perkiraan saya, disebabkan oleh peralihan pusat orientasi dari Gowa ke Bone sehingga membawa konsekuensi terciptanya poros lalu lintas baru yang menghubungkannya dengan Bone melalui jalur darat. Kita ketahui sebelumnya bahwa pada saat orientasi ke Gowa, jalan utama adalah melalui jalur laut untuk tiba di Siang dan begitu pula sebaliknya.
Periode ini berakhir pada tahun 1860, yakni setelah Singkeruk Rukka Arung Palakka menjadi Raja Bone dan menandatangani kontrak politik dengan Belanda, Letnan Jenderal van Swieten, Gubernur Sulawesi yang menetapkan bahwa Bone yang dahulunya menjadi sekutu Belanda diubah menjadi negeri pinjaman. Raja Bone, Singkeruk Rukka dianggap sebagai raja pinjaman (leenvorst) saja dari Belanda, sehingga kekuasaannya sangat terbatas.
5. Daerah Federasi Gowa bersama Belanda (1860 – 1894).
Periode ini mulai setelah Raja Bone Besse Kajuara yang menentang Belanda menyingkir ke Sawitto dan benda – benda arajang Bone jatuh kepada Belanda dan karena itu Kerajaan Bone dianggap menjadi milik Gubernur Belanda. Akan tetapi kemudian Belanda mengangkat seorang raja pinjaman yang memang sejak lama banyak membantu Belanda yakni Singkeruk Rukka Arung Palakka. Dengan demikian, persekutuan Bone dengan kerajaan lainnya termasuk Pangkajene berakhir dan menjadi daerah federasi Kerajaan Gowa dibawah taktis Belanda. Keadaan ini berakhir pada tahun 1894 yaitu pada waktu Sultan Gowa, Muhammad Idris Ibnu Abdul Kadir Aididin membuat perjanjian baru dengan Belanda yang sangat merugikan Gowa. Perjanjian itu ditanda tangani pada tanggal 26 Oktober 1894 di depan Gubernur Jenderal Hindia Belanda C. H. W. Van Wijk. Isinya antara lain :
- Gowa dinyatakan sebagai bahagian dari wilayah Hindia Belanda dan ditempatkan dibawah Gubernemen Hindia Belanda dan karena itu Gowa harus mengakui kekuasaan dan pemerintahan Raja Belanda yang diwakili oleh Gubernur Jenderal sebagai raja yang sah ;
- Wilayah Kerajaan Gowa dibatasi sebelah utara onderafdeeling Tello Parangloe, dan Maros, sebelah timur : Onderafdeeling Balangnipa, sebelah selatan : Onderafdeeling Bulukumba, Bantaeng dan Binamu, sebelah barat daya : Onderafdeeling Bangkala dan Takalar.
6. Daerah dibawah Kekuasaan Langsung Hindia Belanda (1894 – Zaman Pergerakan Kemerdekaan)
Sebagai akibat penandatanganan perjanjian Sultan Gowa dengan Pemerintah Hindia Belanda, terdapat dua corak pemerintahan di daerah – daerah Sulawesi Selatan, terutama bekas daerah persekutuan Bone dan Federasi Gowa, yakni :
- Daerah yang dikuasai langsung oleh Belanda dan diberinya status onderafdeeling seperti : Balangnipa, Bikeru, Bulukumba, Bantaeng, Binamu, Bangkala, Takalar, Tallo - Parangloe, Selayar, Maros dan Pangkajene. Penguasa lokal yang banyak terdapat di dalam lingkungan setiap onderafdeeling itu disebut Karaeng, Arung, Opu, dan lain – lain adalah merupakan raja – raja yang tidak bermahkota (onttroonde vorsten) dan daerahnya disebut Regent.
- Daerah yang tidak langsung dikuasai oleh Pemerintah Hindia Belanda dan dianggap sebagai anggota persekutuan atau negeri sahabat berdasar Perjanjian Bungaya (Cappaya ri Bungaya dan pembaharuannya). Daerah – daerah tersebut adalah Gowa, Bone, Luwu, Tanah Mandar, Wajo, Soppeng, Sawitto, Maiwa, Enrekang, Kassa, Malua, Bonto Batu, dan Alla. Daerah ini disebut “Zelfbestuurende Landschappen ”.
7. Periode Pemberontakan terhadap kekuasaan Belanda
Periode pemberontakan melawan kekuasaan Belanda di daerah Pangkajene dan sekitarnya telah timbul sejak pertengahan abad XIX dengan pelopor – pelopornya antara lain :
- La Sameggu Daeng Kalebbu di Botto (Segeri) dari tahun 1844 –1855 ;
- La Maruddani Karaeng Bonto – Bonto (1875 – 1885),
Kemudian pada zaman pergerakan kemerdekaan, heroisme tersebut dilanjutkan oleh pejuang yang berasal dari daerah Pangkajene seperti Andi Burhanuddin, Andi Mappe, Andi Mandacingi, dan lain – lain.
IV. Mencari Saat Yang Paling Tepat Dijadikan Hari Lahir Pangkajene
Seperti yang telah disinggung di depan bahwa Kota Pangkajene mulai dikenal dan mempunyai peranan pada saat daerah ini menjadi anggota persekutuan Bone, Tanete, dan Suppa dibawah taktis Hindia Belanda. Tepatnya, sekitar menjelang permulaan kekuasaan Inggris yang menggantikan kekuasaan Belanda di Nusantara kita ini, yakni sekitar tahun 1809 – 1810.
Peranan Pangkajene diperkuat oleh situasi peperangan pada beberapa tahun kemudian antara Bone dan sekutunya, Tanete dan Suppa yang berlokasi di Maros dan sekitarnya, termasuk daerah Kalibone melawan tentara Inggris yang berlangsung cukup lama yakni sampai tahun 1816 (saat berakhirnya kekuasaan Inggris di Nusantara).
Pada sekitar tahun itu pula (1809) muncul gerakan perjuangan rakyat di Segeri dan Labakkang terhadap Pemerintah Hindia Belanda, yang tidak mengakui lagi adanya pajak hasil panen sebesar 10 % yang harus diserahkan kepada Belanda (dikenal dengan nama pajak Verdiening).
Jika kita tidak dapat menemukan saat kelahiran Pangkajene (maksudnya Pangkep, penyunting) dengan memakai pendekatan pertama dan kedua, maka sewajarnyalah kita memilih pendekatan ketiga. Dan momen yang paling tepat untuk dijadikan titik tolak perjalanan Sejarah Pangkajene adalah saat munculnya gerakan rakyat menentang Belanda dengan kebijakan yang memberatkan rakyat tadi, yakni tahun 1809.
Meskipun gerakan Rakyat ini mendapat protes dari Belanda, tetapi hal itu tidak diperdulikan oleh rakyat sampai kekuasaan Belanda diambil alih oleh Inggris. Jika kita tidak dapat menemukan tanggal yang pasti tentang gerakan rakyat tersebut, saya akan mengusulkan satu tanggal yang mempunyai nilai historis yang cukup penting yakni Tanggal 30 Mei, yakni tanggal penyerangan La Sameggu Daeng Kalebbu ke pusat pemerintahan Belanda di Segeri yang menyebabkan gugurnya Baron T Collot d’Escury dan seluruh bangunan Pemerintah Belanda di Segeri dibakar habis.
V. Kesimpulan
Setelah meneliti dan menelusuri secara kasar Sejarah Perkembangan Pangkep dan setelah memperhatikan beberapa hal yang menyangkut upaya penetapan Hari Kelahiran Pangkep maka melalui kertas karya yang diberikan dalam seminar yang terhormat ini, penulis mengusulkan agar tanggal 30 Mei 1809 dijadikan sebagai Hari Kelahiran Pangkep dengan pertimbangan yang telah diajukan terdahulu.
Pangkep, 27 April 1985
(* H. Syahruddin Kaseng adalah Tokoh Pendidikan Sul-sel. Pernah Menjabat Rektor IKIP Ujungpandang (sekarang UNM, Makassar). Materi Makalah ini dibawakannya pada Seminar Hari Kelahiran Pangkep, yang diselenggarakan oleh DPD II KNPI Pangkep, di Pangkajene Tanggal 26 – 27 April 1986. Dibuat baru, diedit dan diberi catatan kaki oleh M. Farid W Makkulau atas permintaan Pemkab Pangkep (2008).
Catatan Kaki :
[1] Pada masa itu Sulawesi Tenggara masih terintegral dengan daerah Sulawesi Selatan sebagai satu kesatuan wilayah pemerintahan.
[2] Jennang dapat diartikan sebagai wakil pemerintahan yang ditempatkan berkuasa di suatu daerah yang dianggapnya sebagai bawahan