Sabtu, 16 Mei 2009

Kisah Sawerigading - Cerita Rakyat Sulawesi Selatan

Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading
berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas
(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung.
Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan
ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak
kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga
mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik
kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk
melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara
kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja
bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara
Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan
manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan
satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki
bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan
We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara
kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun
membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia
menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.
Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik
jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana
diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk
mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun
sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate
karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu
dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat
kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar
yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya
Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan
dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara
kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi,
Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu
dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang
mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera
memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui
bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar
dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!”
bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat
Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading
mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina
(bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip
dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang
bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai
bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan
adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We
Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia
berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai,
gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina,
walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak
diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan
ombak besar di tengah laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé
raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud
ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang
pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya
telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading
kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian
aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun
mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng
secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya
sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu
yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu
menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak
kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu
layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku
membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk
menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan,
berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan
seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat
sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We
Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung
kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai
tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut
mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang
halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya.
Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang
dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera
mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh
keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk
mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang
tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal
Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan
saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera
kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai.
Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan
pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus
penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian
kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di
istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud
kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra
Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang
menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap
Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu
adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.
Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang
dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya
menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku.
Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai
anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di
samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak
lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai
tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu
beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya
Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini
dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta
Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin
yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya.
Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai.
Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran
Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga
Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu.
Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya
diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya
untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada
di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian,
pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap
rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang
anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya.
Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk
mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan
istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah
menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena
istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama
beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka
tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di
tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal
di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang
ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya
untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah
pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi
penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap
di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri
Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas
penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam,
Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri
Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi
penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran
yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai
keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.
(Samsuni/sas/135/04-09)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari H. Abdul Muthalib dan Muhammad Yusran. 2003.
Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sawerigading,”
April 2009.
Ahmad Maulana. “Mengenal Sosok Sawerigading,”
diakses pada tanggal 4 April 2009.
Anonim. “Sawerigading,”
tanggal 4 April 2009.
Christian Pelras. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama
dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian
dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Yusi Avianto Pareanom.

Minggu, 26 April 2009

Pa’kio Bunting

Iring - iringan pengantar pengantin laki-laki menuju rumah kediaman pengantin perempuan (foto : santri immim, dok. dra.nurhudayah).

Ia dende – ia dende , nia tojemminjo mae ;
bunting salloa kutayang , salloa kuminasai ;
bura’ne bura’nena buranea ;
nampako ri ujung borikku, ri cappa pa’rasanganku ;
naku ruppaiko cinik, kutimbarangkiko pangngai.

Nampako kuasseng niak, na kuitungko labattu ;
kuurangi memang, berasa ri mangkok kebok ;
kummata memang, rappo bauk ri pallakku ;
kunnanro memang, kelomping ri talang bulaeng ;
ku itungko intang, kubelo – belo jamarrok.

Intang macora, nasingarri dallekannu ;
bulaeng tino’ angsuloi pacciniknu ;
lakukapeangko anne, sumangaknu mabellaya ;
lakukiokangko pole, tubunu ‘lampa salaya ;
Kutannangkonne, tope talakkak ri ayak.

Lakkak tope tamalakakko ikau ;
sangkontu sanrapammamako bulang sampuloa ngappak ;
nasusung pale, natinriang wari-wari ;
wari-wari kapappasang, pale mannuntunga bangngi ;
nisaelenu kau tamallakjunu nicinik makmole-mole.

Kukiok daengjakonjo, kukanro anak karaeng ;
nutuli manaikmo mae ri balakna matoannu, ritukakna iparaknu,
matoang tuna, iparak kamase-mase ;
mangongjotongmakonne tukak tallu angronna, patampulo baringanna ;
manjappatongko pole, coccorang nitakbu-takbu.
Nutulik manai, mannyorang pakkekbu nigiring-giring ;

Mangongjotongko daserek nijaling kawak, nialanro bassikalling ;
mattetetongko pallangga ri batang rappo ;
mannosok tongko padongko nitau-tau ;
nutilimo kalawuk rawanganna timbaonu, ammempo ri
benteng polonnu.

Aklaparak tapperek bodong, anjokjok kairi kanang ;
mansuro-suro rapannu, mampattuju sangkammannu ;
naremba-rembako pole, anak rara patampulo ;
nisarimanangko pole, lonrong beru makbakak ;
benteng polong kansako, kanako benteng pakkaik-kaik topena
pasikaiki bajunna.

Naik manaung tunibarang baranginnu, assuluk antama ata makballak-ballaknu ;
numakjarang, numattedong, numakjangang rassi lerang ;
nakutumbangangi pole palampang ase berunu ;
nakatepokangi padongkok ase toanu ;
tamanraikko ri ambong nukoasa.

Takalaukko ri Jawa, nakulumannyang, tamakbotorokko numammeta ;
assare-sarengko sallang, ri matoang kasiasi ;
appiturummako pole, ri iparak kamase-mase ;
naik tuannu, saklak dasere dalleknu ;
kuminasaijakonjo sunggu, kutinjakiko matekne.

Nusunggu tojeng, numaktene tojeng todong ;
lakbu bannang ri jawa, malakbuang umurunu ;
luarak tamparang, luarangang nawa-nawanu ;
tinggi Bawakaraeng, matinggiampa tuannu ;
lekbak gentung tinbaonu, lekbak tantang pakkallikku.

Timbao nikida-kida pakallil niurak tallu ;
lekbak basami barkraknu, lekbak gusuk langiriknu ;
tattanngi pole, capparu pakminyakannu ;
nutulimo ‘antama ri bilik kamua liku, kamua kalangang rapak ;
mannosok badang, mannimbak bangkeng paciko.

Nukana-kanami sallang saraka ri pamminangang ;
tappauk-paukmi pole bunga-bunga ri gatingroannu ;
nusipoke-poke genre, nusitakbak rappo toa ;
nusipattoa-toai , nusipakloa-loai, nusipacammo-cammoi
sitanro takkang, sibuccuk pakdengka-dengka.

Lino-linopi anging, pakkeke mappasisaklak ;
numammanak-manak sarre, numakborong unti jawa
pinruang tuju, pintallung tassalapangi ;
manaikngasemmi mae angrong guru ningainu, gallarang nipanggalikinnu,
kapala nipaemponu.

Battungasemmi pole, bija pammanakannu, bella-bella ‘mbani-bani,
cakdi-cakdi, lompo-lompo, anak-anak tau –toa ;
nipanaikmako ri pangka-pangka bulaeng ;
niupaempomako ri tapperek paramadani ;
bajik nangai Nabbi, napaujia Allah Ta’ala.

Sipokok bukne tantanna jeknek matannu ;
sipokok camba pammattikna iloroknu ;
kupattannangangmakonne, anggorok ri gantironu ;
kupaklumangangko pole, lemo tanning ro dolangang ;
nakacinnai somba, napammattikang irolok bate salapang.

Bunting nilekkako paleng tunipalele bellokang ;
Nierang ri bori maraeng, pakrasangang nampa nuonjok, bori nampa nulakbaki ;
nukamma todong jonga, mattoa ri sampak manngayangang tunumalo.
- Nakana kelonna Daeng bunting Bura’nea :
nampa a’lampa ri balla’ku, naku joli pakkebukku, naku gulung tapperekku
naku a’nia ri lalang pa’mai, barang nasarea sikalabine, dalle Karaeng Allah Ta’ala
ku lingka lammatang puli, ri borong-borong pa’daserang, dalle nipajului battu ri Allah Ta’ala.
- Nakana kelonna Daeng Bunting Bainea :
takunjungak sallo lolo, karunrung balu baine, tammamoneak, tope taerokna tau toaku.
- Nakana pole kelonna daeng bunting bura’nea :
kaddek kucinik Batara, kudupai allo-allo najokjokangku lebanga ri pakmaikku.
- Nakana kelonna Daeng butning bainea :
kaddek naniak erokku, teak sajuk ri sakbea, teak salasa ri baju mocong buloa.
- Nakana pole Daeng buting bura’nea :
nampakko maccula lebong, nakurompong-rompong memang, lompoko naik, kutammbai pakrompongku.
- Nakana kelonna Daeng bunting bainea :
Apa kicinik ri nakke, nakke leleng nake kodi, nakke karokbak, nakke caddi simbolengku
- Nakana pole Daeng bunting bura’nea :
mannu lekleng mannu kodi, mannu caddi simbolennu, tittik matangku, kalakbusang pangngaikku.
- Nakana toseng kelonna Daeng bunting bainea :
Sikatutuikik tope, manna ni sassa ma’ mole-mole. tenamontu parekanna maloloa
manna nupake pangngasengang “lolo pulanaya”
+ Naik ngaseng maki mae.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Penerbit Kantor Informasi dan Komunikasi (Infokom) Pemkab Pangkep. Copyright (c) 2007. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Janji dan Sumpah Setia Mengangkat Raja

Oleh : M. Farid W Makkulau

DALAM Sejarah Sulawesi Selatan, janji dan Sumpah setia rakyat yang diwakili oleh pemimpin – pemimpin kampung atau kelompok kaum dengan To-manurung / ManurungE dianggap sebagai peletak dasar ”yang demokratis” berdirinya kerajaan – kerajaan di wilayah ini. Hampir semua penulis sejarah sepakat, baik sejarawan lokal maupun sejarawan Barat, mengenai perkembangan situasi daerah yang seragam---masa kekacauan, krisis pangan dan perang saudara yang dikenal sebagai ”sianre balei taue’---sebelum masa kemunculan To-manurung / ManurungE.
Diriwayatkan kondisi Tanah Gowa pada masa sebelum hadirnya Tumanurunga, senantiasa dilanda perang saudara antara Gowa bagian utara dan Gowa bagian selatan seberang Sungai Jeneberang. Ketika itu Paccalayya sebagai ketua federasi diantara sembilan Kasuwiang tidak dapat mengatasi peperangan tersebut. Hal ini disebabkan karena Paccalayya hanya berfungsi sebagai lambang yang tidak memiliki pengaruh kuat pada anggota persekutuan yang masing – masing mempunyai hak otonom. Oleh karena perang saudara terus terjadi, maka diperlukanlah seorang pemimpin yang berwibawa untuk mengatasinya.
Hal yang sama terjadi pula di Tanah Bone, Kronik Bone memulai cerita kerajaannya tepat diakhir cerita I La Galigo yang menjelaskan masa sebelum datangnya To-manurung (orang yang turun dari langit/kayangan) sebagai masa kekacauan dan perang saudara yang berlangsung selama tujuh generasi. Nanti setelah To-manurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan. Ditetapkannya penguasa Tu-manurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Aruppitu (Tujuh Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas.
Cerita yang sama, berkembang pula di Tanah Soppeng, Semula daerah ini dipimpin oleh 60 Matowa (Dewan Adat), yang dipimpin Arung Bila. Namun selama tujuh tahun lamanya masyarakat Soppeng dilanda krisis pangan akibat kemarau panjang dan masa kekacauan yang seakan tiada hentinya. Saat terjadinya krisis tersebut maka muncullah seorang Tomanurung di Sekkanyili’ bernama Latemmamala (ManurungE’ ri Sekkanyili’) yang kemudian hari diangkat sebagai Datu Pertama Soppeng, berdasarkan kesepakatan ”kontrak politik” antara Para Matowa (sebagai refresentasi rakyat) dengan To-ManurungE (sebagai refresentasi Tuhan diatas muka bumi ini).

Pengangkatan Tu-manurunga ri Tamalate, Somba Pertama Gowa

Diriwayatkan bahwa pada masa sebelum hadir Tumanurunga ri Butta Gowa, ketika itu Gowa berbentuk kerajaan – kerajaan kecil yang mengikatkan diri dalam bentuk persekutuan (bobdgenoot) atau pemerintahan gabungan (federasi) dibawah pengawasan Paccallaya (ketua Dewan hadat Pemisah). Kesembilan Kasuwiang (mungkin juga lebih jumlahnya), disebut juga Kasuwiang Salapanga atau sembilan kelompok kaum yang mewakili masing – masing dalam persekutuan itu ialah Kasuwiang Tombolo, Lakiung, Samatta, Parang-parang, Data, Agang Je’ne, Bisei, Kalling dan Sero.
Diriwayatkan suatu saat terdengarlah berita oleh Paccallaya bahwa ada seorang puteri yang turun diatas bukit Tamalate tepatnya di Takabassia. Dalam saat penantian, tersebutlah bahwa orang – orang yang berada di Bontobiraeng melihat sesuatu di sebelah utara seberkas cahaya diatas bergerak perlahan – lahan turun ke bawah, ternyata menuju Takabassia, tepatnya persis diatas sebuah bongkahan batu perbukitan.
Kejadian ini dengan cepat diketahui Gallarang Mangasa dan Tombolok yang memang diserahi tugas mencari tokoh yang bisa menjadi pemersatu kaum dalam persekutuan Butta Gowa. Paccalayya bersama keembilan Kasuwiang Salapanga bergegas ke Takabassia. Mereka duduk mengelilingi cahaya tersebut sambil bertafakkur dan serta merta dari cahaya tersebut menjelma wujud manusia, seorang wanita cantik menakjubkan dengan memakai pakaian kebesaran yang mengagumkan. Kasuwiang salapanga dan Paccallaya tak mengetahui nama dari puiteri ratu tersebut sehingga diberinya nama orang (wanita) yang menjelma yang turun dari atas dan tidak diketahui asal usulnya.
Paccallaya dan Kasuwiang Salapanga kemudian bersepakat menjadikan Tumanurunga sebagai rajanya dan memberitahukan kejadian penting ini pada orang – orang yang berperang agar menghentikan pertempuran. Sebagai wakil seluruh kaum yang berkumpul di tempat itu,. Paccalayya kemudian mendekati Tumanurunga dan bersembah ”Sombangku !” (Tuangku !) Kami datang semua ke hadapan sombangku, kiranya Sombangku sudi menetap di negeri kami dan Sombangkulah yang merajai kami.
Permohonan Paccalayya pun dikabulkan oleh Tumanurunga, kemudian Paccallaya bangkit dan berseru kepada porang banyak yang hadir di tempat itu. ”Sombai Karaengnu tu Gowa !” ). Sembahlah rajamu hai orang Gowa !, maka gemuruhlah suara orang banyak ”Sombangku”[1]. Mungkin sejak itulah bermula nama Gowa dipergunakan secara resmi sebagai sebutan bagi rakyat dan kerajaan Gowa.

Janji dan Sumpah Setia Pengangkatan Datu Soppeng Pertama

Soppeng pada zaman dahulu, merupakan suatu kerajaan yang diperkirakan berdiri sejak tahun 1300. Semula kerajaan ini terdiri dari 60 Matowa (Dewan Adat), yang dipimpin Arung Bila. Namun selama tujuh tahun lamanya masyarakat Soppeng dilanda krisis pangan akibat kemarau panjang. Saat terjadinya krisis tersebut maka muncullah seorang Tomanurung di Sekkanyili’ bernama Latemmamala. Berdasarkan hasil musyawarah antara ke – 60 Matowa dengan To-manurung, maka mereka bermufakat untuk mengangkat Latemmalala ManurungE’ ri Sekkanyili’ sebagai Raja (Datu) Pertama Soppeng.
Kedatangan To-manurung di Soppeng dapat dibaca dalam kutipan Lontara berikut :
“Ianae sure’ poada-adaenngi tanaE ri Soppeng. Nawelainna Sewo, Gattaraeng. No’ni mabbanua tauwe ri Soppeng naia TosewoE iana riaseng to-Soppeng riaja. Ia togattarengE iana poaseng Soppeng riLau. Agana enneppulona matoa Soppeng ri Lau Soppeng ri Aja. Nae napadduwani alena To-SoppengngE . . . . . Nade’na Puwanna. Naiamani matowaE ennennge-pulona paoto’ palewui tanaE. Namanurunna petta ri Sekkanyili’. Napaissenna matoa Tinco. Jennang Pesse. Angkanna matoa padduisenngE To Soppeng Riaja. Napoadanni matoa Ujung. Matoa Botto. Matoa Bila. Makkaedae engkaro Manurung ri Sekkanyili. Nae makkedai matoa Biila. Matoa Botto. Matoa Ujung. Madecenngi tapaissengi padduisenna Soppeng Rilau. Matoa Salotungo. Nakadoi padduiseng riaja. Nassiturusini suroE tampaiwi. Puraikkua engkani matoa padduiseng rilauE. Makkedae matowa Soppeng Riaja. Engka To-manurung ri Sekkanyili’. Napokku are’ sosso tanngamu. Makkedai matoa Soppeng Rilau. Madecenngi lao takkarenngi ale. Sarekumamaseammi puwanngE. Naia ‘dongiri’ temmatipa’I Mpawai rim awe rimabela. Namauna pattarommeng nateaiwi. Tateai toi. Puraikuwa. Lokkani matowaE ennennge-pulona. Makkedani matowa Ujung. Matoa Bila. Matoa Botto. Ia kiengkang maie lamarupeE maelokkeng muamaseang. Aja’na muallajang. Naikona kipopuang.
Mudongiri temmatipa’keng. Musalipuri temmadingikkeng. Naikona puwakkeng rim awe rimabelaE. Namauna pattarommeng. Muteaiwi kiteai mutonisa. Mekkedani petta manurungngE ri Sekkanyili’. Temmubaleccoreppa’. Temna. Petta ManurungngE ri Sekkanyili’. Makkedatopi petnang. Engkatotu sapposisekku manurung ri Libureng. Madecengi muliburingale iko to SoppengngE. Kudua sapparekko deceng mennang. Naia datu soppeng rilau Naia Datu Soppeng Riaja. Mupasituru tanngamu lao mualai. Purai ‘kua lokkani matoaE ennengE-pulona. Lattu ri Libureng kuwa riasennge ri GowariE. Napoleini To-manurungngE tudang ri balubu na’depparie. Makkedani Matoa Ujung. Matoa Bila. Matoa Botto. Lanamai kiengkang lamarupe’E maelokkeng muamaseang. Aja’na muallajang. Na-iko kipopuang. Mudongiri temmatipa’keng. Musalipuri temmadingikkeng. Muwessei tammakapakkeng. Naiko puwakkeng rim awe ri mabelaE. Namau nanammeng napattarommeng muteaiwi. Kiteai matonisia”.
Makkedai manurungngE ri GowariE. Temmu baleccoreppa’. Temmuadduan-nawa-nawapa’ Sikadonni adaewe. Ianaro riaseng akkulua-dangenna To-SoppengngE napuppunna lattu ri torimunrinna DatuE ri Soppeng nato ri munrinna to SoppengngE. Makkoniro ammulanna madua Datu ri Soppeng. (Lontara Soppeng, Salinan A Pategai 4-1-23 Hal. 152 – 153).

Artinya (terjemahan bebas) :

Inilah kitab yang menceritakan tentang Tana Soppeng ketika penduduk meninggalkan Sewo dan Gattaeng. Syahdan, maka turunlah penduduk untuk bermukim di Soppeng. Adapun orang – orang yang datang dari Sewo disebut orang Soppeng Riaja, sedangkan mereka yang dating dari Gattareng disebut orang Soppeng Rilau. Demikian terbagi dualah orang Soppeng pada waktu itu, tanpa ada raja sebagai penguasa. Hanya terdapat sebanyak enam puluh ketua/kepala untuk kedua wilayah daerah Soppeng (Riaja dan Rilau) tersebut. Para ketua itulah yang mengayomi negeri Soppeng sampai datangnya paduka Petta ManurungngE ri Sekkanyili’.
Ketika Matoa Tinco, jennang Pesse serta segenap matoa – matoa wilayah persekutuan Soppeng Riaja mengetahui perihal datangnya seorang Tomanurung di daerah ri Sekkanyili’ segera disampaikannya hal tersebut kepada Matoa Ujung, Matoa Botto dan Matoa Bila, bahwa ada Tomanurung di Sekkanyili’.
Berkatalah Matoa Bila, Matoa Ujung dan Matoa Botto : Sebaiknya hal itu diberitahukan pula kepada Ketua Persekutuan Soppeng Rilau, yaitu Matoa Salotungo (perkataan ./ saran ketiga matoa tersebut) ternyata diiyakan oleh pada Ketua Persekutuan Soppeng Riaja, maka disepakatilah untuk mengundang mereka (Ketua – ketua daerah persekutuan Soppeng Rilau). Setelah itu pada datanglah ketua – ketua persekutuan Soppeng Rilau lalu berkatalah para ketua Soppeng Riaja : Sebaiknya kita (para ketua – ketua persekutuan Soppeng Riaja dan Soppeng Rilau) berdatang sembah. Semoga niat kita dirahmatinya. Kiranya beliaulah yang berkenan memimpin dan mengayomi kita sekalian dalam segala hjal (dekat maupun jauh). Kendatipun ada putusan kita, tetapi tidak disukainya, maka kita pun akan tidak menyukainya.
Setelah itu pergilah keenam puluh ketua tadi menemui TomanurungngE. Berkatalah Matoa Ujung, Matoa Bila dan Matoa Botto : Bahwasanya kedatangan kami sekalian ini, tidak lain adalah untuk memohonkan rahmatmu. Janganlah hendak-nya Paduka kembali gaib / menghilang (ke kayangan) dan padukalah hendaknya yang menjadi raja kami, maka pimpinlah / bimbinglah kami kepada keselamatan dan kesejahteraan, ayomilah kami semua dalam menghadapi setiap masalah. Padukalah raja (yang berkuasa) atas diri kami dalam segala hal. Kalaupun ada putusan / pendapat kami, namun paduka tidak berkenan menyetujuinya, maka kami pun tidak akan mempertahankannya lagi.
Berkatalah Paduyka TomanurungngE ri Sekkanyili’ : Hanya apabila engkau semua tidak mengkhianati diriku, hanya apabila engkau semua tidak mengsyerikatkan aku. Syahdan maka bersepakatlah antara Paduka yang mulia TomanurungngE ri Sekkanyili’ dengan keenampuluh matoa.
Berkata pula Paduka TomanurungngE, kusampaikan pula kepadamu sekjalian : Ada pula saudara misanku / sepupu sekali yang turun / manurung di Libureng. Lebih baik engkau bermufakat bersatu pendapat, agar kamiu berdualah yang mencarikan jalan kebaikan untukmu semua. Dialah (ManurungngE ri Libureng sebagai Raja/Datu Soppeng Rilau dan aku Datu di Soppeng Riaja). Bersepakatlah engkau semua dan jemputlah ia.
Setelah itu berangkatlah keenam puluh matowa tadi, untuk menemui / menjemput TomanurungngE ri Libureng, di suatu tempat yang dinamakan GoawiE. Syahdan, maka diketemukanlah sang Tomanurung (manurungngE ri GoariE/Libureng) sedang duduk diatas gucinya. Berkatalah Matoa Ujung, Matoa Bila dan Matoa Botto : bahwasanya kedatngan kami semua kemari ini, adalah untuk semata – mata memohonkan rahmatmu. Janganlah hendaknya paduka kembali ghaib (menghilang ke kayangan) agar padukalah yang dipertuan, untuk memimpin kami kepada jalan keselamatan dan kesejahteraan, mengayomi / melindungi kami semua dari segala marabahaya, mempersatukan kami secara ketat dan penuh berkah. Engkaulah raja, penguasa kami dalam segala hal. Kalaupun ada anak keturunan kami, putusan kami yang engkau tidak sukai/kehendaki maka kami pun rela untuk tidak menyukainya.
Berucap ManurungngE ri GoariE : bahwasanya apabila engkau semua tidak khianat, hanya saja kalau engkau semua tidak menyerikatkan aku.
Syahdan, disepakatilah ikrar tersebut. Itulah yang dinamakan janji setia antara orang Soppeng, hal mana berkelanjutan secara turun temurun sampai kepada anak keturunan kedua belah pihak. Demikianlah asal muasalnya sehingga ada dua raja/datu di Tana Soppeng”.

Footnote :
[1] Lihat : HD Mangemba, Gowa Mencari hari Jadinya, Makalah Seminar Hari Jadi Gowa, 10 – 11 September 1990.

ARU’ (1)

Kicini – cini sai karaeng
Bannang Keboka ri Siang
Tak sampea ri Sengkaya
Maklambaka ri Pangkajene

Ada’ Kuerang kontu tojeng kupanna’ galli
Iya – iyannamo sallang karaeng
Tampa tetea ri ada’
Tampa empoa ri kontu tojeng

Kupannepokangi sallang karaeng
Panngulu ri tangnga baruga
Inai naimo sallang karaeng
Tappa empoa ri kontu toje
Tampa tetea ri ada’

Kupannepokangi sallang karaeng
Passorang ri tangnga parang
Niappa sallang waktu
Bosi tasi nau – nau
Kilatasi kila – kila
Nanicini jarina Itui Daeng Manassa

Dasi na dasi nanakarannuang Bataraya
Nalanri pangngamaseanna
Amin.

Catatan Penulis :
Aru', Angngaru' atau Mangngaru ialah ikrar kesetiaan yang diucapkan dihadapan seorang karaeng, arung atau raja. Aru bisa juga dipersembahkan dihadapan pemimpin tamu atau raja/karaeng yang datang sebagai raja atau pemimpin sahabat atau pemimpin/raja yang lebih tinggi kedudukannya. Seorang yang angngaru’ haruslah berpakaian adat, mengucapkannya harus lantang, tegas dan sambil menghunus keris. (Makkulau, 2007)

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

ARU' (2)

Karaengku !
Kipamopporammak jaidudu karaeng !
ri dallekang lakbirina, ri empoang matinggina ;
ri sakri karatuanna,
Satuli-tuli kanangku karaeng ;
panngainna laherekku, pappattojenna batengku ;
Beranjak kunipatekbak, pangkuluk kunisoeang ;

Ikatte anging karaeng, na ikambe lekok kayu ;
Ikatte jeknek karaeng, na ikambe batang mammanyuk ;
Ikatte jarung karaeng, na ikambe bannang panjaik.

Irikko anging, na marunang lekok kayu ;
Solongkok jeknek, namammanyuk batang kayu ;
Tekleko jarung, namminawang bannang panjaik;

Makkanamaki mae, na ikambe manggaukang.
Mannyakbuk mamakik mae, na ikamba mappajarik ;
punna sallang takammaya, aruku ri dallekanta ;
pangka jerakku, tinraki bate onjokku ;
pinra arengku, piassalak jari-jariku.
Pauangi ri anak ribokoa, pasangi ri anak tanjari ;
tumakkanaya, na taenna napparukpa ;

Sikammaji anne aruku ri dallekanta Karaeng ;
dasi na dasi nanitarima paknganroku ;
Karena Allah !
Amin.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Dinas Kebudayaan dan Pariwisata (Disbudpar) Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Upacara Adat Mappacci


UPACARA Adat yang harus dilakukan dan merupakan rangkaian perayaan pernikahan Bugis Makassar yaitu Upacara Adat "Mappacci", dengan penggunaan simbol-simbol yang sarat makna akan menjaga keutuhan keluarga dan memelihara kasih sayang dalam rumah tangga. “Mappacci” berasal dari kata “Pacci”, yaitu daun yang dihaluskan untuk penghias kuku, mirip bunyinya dengan kata “paccing” artinya bersih atau suci. Melambangkan kesucian hati calon pengantin menghadapi hari esok, khususnya memasuki bahtera rumah tangga meninggalkan masa gadis sekaligus merupakan malam yang berisi doa.
Dalam kesusastraan bugis terdapat pantun yang berbunyi : “Duwa kuala sappo, unganna panasaenabelo kanukue”. Penjelasan dari kalimat ini yakni dalam bahasa bugis, nangka dinamakan “Lempu” yang berarti jujur. Sedangkan penghias kukunya mirip bunyinya “Paccing” yang artinya bersih, suci. Jadi kesucian dan kejujuran merupakan benteng dalam kehidupan, karena kesucian adalah pancaran kalbu yang menjelma dalam kejujuran.
Adapun peralatan dan perlengkapan ‘Mappacci’ disini dapat dibagi atas tiga kelompok, yaitu Kelompok I yaitu : Benno dan Tai Bani (Patti) dan Kelompok II terdiri dari : Bantal, Sarung, daun pisang dan daun nangka. Benno Yaitu beras yang digoreng kering hingga mekar melambangkan harapan kiranya calon pengantin ini akan mekar berkembang dengan baik, bersih dan jujur. Dalam bahasa bugis disebut “Mpenno Rialei.” Sedang Tai bani (Patti) merupakan lilin dari lebah, ini melambangkan suluh (penerang) dan kehidupan lebah artinya tata kehidupan bermasyarakat yang kita lihat dalam kehidupan lebih terlihat rukun, baik, tidak saling mengganggu satu sama lain. Artinya hendaknya menjadi suri tauladan dalam kehidupan bermasyarakat.
Sementara, Bantal (Pallungang) merupakan simbol kemakmuran. Pengertian khususnya sebagai pengalas kepala yang artinya penghormatan atau martabat, dalam bahasa bugis disebut “Mappakalebbi”. Mengenai Sarung (Lipa) yang disusun 7 lembar, maksudnya ialah sebagai penutup tubuh (harga diri) juga karena sarung dibuat dari benang yang ditenun helai demi helai melambangkan ketekunan dan keterampilan. Menurut cerita dahulu kala jika mencari calon isteri, si pria tidak perlu melihat secara langsung si gadis tapi cukup dengan melihat hasil tenunannya, rapi atau tidak ?. Bila tenunannya rapi dan bagus maka pilihan pria akan jatuh pada gadis tersebut. Tujuh lembar melambangkan hasil pekerjaan yang baik. Dalam bahasa bugis “Tujui” yang mirip dengan kata “Mattujui” artinya berguna.
Untuk Daun pisang (Leko’ Unti), dilambangkan sebagai kehidupan yang sambung menyambung. Daun yang tua belum kering betul, daun muda telah muncul untuk menggantikan dan melanjutkan hidupnya. Dalam bahasa bugis disebut “Maccolli Maddaung” dan Daun nangka, (bugis = “Dau’ Panasa”), mirip dengan bunyi “Minasa” yang berarti cita – cita yang luhur. Selain Kelompok I dan II, masih ada Kelompok III yang terdiri atas Bekkeng, yaitu tempat daun pacci yang mengandung arti kesatuan jiwa atau kerukunan hidup dalam suatu keluarga dan Daun pacci’ itu sendiri yang melambangkan kesucian, diantaranya Napacing hati (bersih hati), Napacing nawa - nawa (bersih pikiran), Napacing paggaukang (bersih tingkah laku), Napaccing ateka’ (bersih itikat).
Secara sederhana, Jalannnya Upacara Mappacci adalah sebagai berikut : (1) Calon pengantin sudah duduk di lamming, atau bisa pula dalam kamar pengantin ; (2) Kelompok pembaca barzanji (pabarazanji) sudah siap di tempat yang disediakan. (3) Para tamu telah duduk di ruangan. (4) Setelah protokol membuka acara, pembacaan barzanji sudah dapat dimulai. (5) Sampai dibacakan “badrun alaina” (makassar : niallemi syaraka) maka sekaligus acara Mappacci dimulai dengan mengundang satu per satu tamu yang telah ditetapkan (setiap tamu yang diundang mengambil sedikit daun pacci yang telah dihaluskan dan diletakkan di telapak tangan calon pengantin, sambil seorang ibu yang mendampingi calon pengantin, sementara itu barzanji tetap dibacakan. (6) Setelah semua tamu yang ditetapkan telah melakukan acara ‘Mappacci’ maka seluruh hadirin bersama – sama mendoakan semoga calon pengantin direstui oleh yang maha kuasa agar kelak keduanya dapat menjadi suri tauladan karena martabat dan harga dirinya yang tinggi. “Cukkong muwa minasae, nakkelo puwangnge naiyya ma’dupa”. (rid).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Upacara Adat Mappacci. Yayasan Kebudayaan Andi Makkulau : Makassar. Copyright (c) 2008. Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang.

Periodisasi Sejarah Daerah Pangkep

SEJARAH Daerah Pangkep tidak bisa dipisahkan dari sejarah daerah – daerah lainnya di Sulawesi Selatan karena saling berhubungan dan mempengaruhi satu sama lain. Dalam Pengantar Ilmu Sejarah Indonesia (R.M. Ali, 1963 dalam Mattulada, 1982:144), memajukan babakan waktu Sejarah Indonesia yang dapat digunakan untuk menentukan waktu dan tempat Sulawesi Selatan dalam penyejarahannya, yaitu :
I. ……. – 132 M : Zaman Pra - Sejarah, meliputi : Paleothicum, Mesolithicum, Neolithicum sebagai masa persemaian benih kebudayaan di Indonesia.
II. 132 - + 400 : Proto Sejarah, masa perkembangan kehidupan persekutuan adat sebagai dasar kehidupan kenegaraan.
III. 400 – 1511 : Masa timbul tenggelamnya kerajaan – kerajaan, dalam perebutan kekuasaan tunggal di laut maupun di darat.
IV. 1511 – 1911 : Pasang surut kekuasaan – kekuasaan di Indonesia, dalam perebutan kekuasaan tunggal antar Indonesia dan antar Indonesia dengan bangsa lain, yaitu perebutan kekuasaan Indonesia sendiri dan antara mereka dengan bangsa asing, seperti Portugis, Spanyol, Belanda, Inggris dan Perancis.
V. 1911–17/8/1945: Masa perjuangan kemerdekaan, dalam bentuk politik Hindia Belanda untuk menegakkan Kemerdekaan Indonesia.
VI. 17/8/1945 dst : Masa Pembangunan, Masa perjuangan mewujudkan kehidupan kebangsaan yang adil dan sejahtera.
Prof Dr H Mattulada mengakui bahwa sampai Abad XII, masih dianggap periode kelam atau masa gelap dalam Sejarah Sulawesi Selatan. Nanti pada Abad XIII, muncul Kitab NegaraKertagama karangan Mpu Prapanca (1364) pada jaman Gajah Mada sebagai Mahapatih Kerajaan Majapahit di Jawa. Didalam kitab tersebut, ditemukan perkataan “Makassar”, yang disebutkan sebagai salah satu daerah dan beberapa daerah Sulawesi Selatan lainnya yang menjadi daerah taklukan Majapahit. Berikut kutipan NegaraKertagama itu : “………muwah tanah i Bantayan pramuka len luwuk tentang Udamakatrayadhi nikanang sanusaspupulIkangsakasanusa Makassar Butun BanggawaiKuni Craliyao mwangi (ng) Selaya Sumba Soto Muar………”Maksudnya ialah seluruh Sulawesi Selatan menjadi daerah ke VI taklukan Kerajaan Majapahit, yaitu Bantayan (Bantaeng), Luwuk (Luwu), Udamakatraya (Talaud), Makassar (Makassar), Butun (Buton), Banggawai (Banggai), Kunir (P. Kunyit), Selaya (Selayar), Solot (Solor), dan seterusnya. Mas’ud [1] (Mas'ud, 1977) melihat sejumlah faktor yang menjadi sebab belum terungkapnya masa gelap sejarah tersebut, yaitu :
(1) Pengaruh kebudayaan dan Agama Hindu yang masih sangat kurang terungkap.
(2) Belum didapatkan suatu tradisi menulis terhadap suatu peristiwa sejarah diatas batu berupa batu tertulis dan prasasti.
(3) Belum terdapatnya sebuah kepingan batu atau pecahan batu dari sebuah bangunan dan patung yang dapat memberikan petunjuk tentang agama, hubungan dengan raja yang memerintah, serta tanda - tanda yang dapat dihubungkan dengan kemungkinan adanya suatu kerajaan.
(4) Belum terungkapnya catatan atau Kronik Cina, India tentang Sulawesi Selatan, misalnya dalam naskah Ramayana dan Mahabharata, serta catatan dari pelayaran yang menyebut daerah ini pada masa lalu lintas perdagangan jaman Ptolemeus.
(5) Belum adanya usaha positif dan maksimal dalam menyusun dan menginventarisasikan penemuan dan penulisan orang-orang China tentang Sulawesi Selatan, secara kronologis di daerah ini.
(6) Belum terungkapnya cerita yang mungkin terdapat di dalam Babad Jawa, Babad Bali, Babad Sunda, dan Babad Sumatera, tentang hubungan daerah-daerah ini dengan Sulawesi Selatan pada masa silam (Fadillah, et.al, 2001).
Sejumlah faktor ini pulalah yang menjadi sebab mengapa Kerajaan Siang Kuna menjadi tidak begitu dikenal --- Siang diperkirakan mengalami "masa keemasan" sekitar abad XV – XVI --- sedangkan masyarakat Bugis Makassar nanti mengenal tradisi tulis "lontarak" di abad XVII. Siang hanya sedikit dikenal dan hanya sedikit yang baru bisa diungkap lewat penelitian arkeologi di bekas pusat wilayah pemerintahan dan pelabuhan Siang (Situs Sengkae, Bori Appaka) [2]. Pada Periode Sejarah, (Mas’ud, 1997) melihat periode ini terdiri atas tiga fase, yaitu : (1) Abad X - XV M. Pada fase ini sudah mulai tercatat sejumlah kerajaan di Sulawesi Selatan, Seperti : Siang, Luwu, Gowa, Soppeng, Wajo Bone, Balanipa, serta berkembangnya mitos Tu-manurung yang muncul di masing-masing kerajaan, dan kesemuanya terdapat dalam lontarak. (2) Abad XV - XIX M. Pada masa ini daerah Sulawesi Selatan mulai kontak dengan orang Erofah serta datang dan berkembangnya agama Islam. Perang antar kerajaan lokal, perang dengan Belanda dalam perebutan hegemoni politik dan ekonomi ; (3) Abad XIX - Abad Perjuangan Pergerakan Kemerdekaan dan Masa Pembangunan. Dengan merujuk kepada gambaran periodisasi Sejarah Sulawesi Selatan (Mas’ud, 1977), maka periodisasi Sejarah Pangkep dapat dimulai pada periode sejarah, karena pada periode inilah lebih ditemukan beberapa sumber dan informasi sejarah. Untuk periode belakangan, dapat dikatakan periode gelap dan kelam dalam sejarah, bukan hanya sejarah Pangkep, tetapi Sejarah Sulawesi Selatan secara umum sebagaimana diungkapkan Prof Dr Mattulada. Periodisasi Sejarah Daerah Pangkep : Pertama, Abad X – XV. Pada masa ini digambarkan awal sejarah dan kelahiran Siang, pertumbuhan sampai masa kejayaan Siang. Juga dijelaskan entitas politik, ekonomi dan hubungan perniagaan dengan daerah-daerah lainnya. Dalam kesejajarannya pada historiografi lokal, teks – teks Portugis berkenaan dengan pesisir barat dari utara ke selatan dan tapak arkeologi, memberi kita realitas sosial dan budaya Sulawesi Selatan antara 1545-1609 ; sebuah pandangan cukup rinci dan koheren. Sayangnya informasi paling signifikan dari kesaksian-kesaksian Portugis itu mengacu pada periode belakangan, yang dikatakan Pelras (1981 : 174) mempunyai koherensi dengan teks Bugis Makassar dan memberi presisi sejak awal Abad XVI, sementara masa – masa sebelumnya seperti yang diperkenalkan wiracarita I La Galigo dengan asal-usul pengasas dinasti semi-keinderaan dan legenda-legenda kerajaan belum dapat mengisi Abad XIV dan XV. Demikian pula Negarakertagama, teks Jawa kuna itu sudah menyebut beberapa tuponim agaknya bertetangga dekat : Bantayan (Bantaeng), Salaya (Selayar), dan Mengkasar (Makassar), namun belum membantu banyak dan Sumber Cinapun absen pada periode ini. (Fadhillah et. al, 2000). Kedua, Abad XVI – XIX. Pada periode ini Siang sudah mengalami kejatuhan politik dan penurunan pengaruh. sebagai vasal (palili) Kerajaan Gowa. Siang dalam kemelut sejarah, berada dalam rotasi kusut dominasi Gowa dan superioritas kekuatan Bone-Belanda. Pada periode inilah lambat laun nama Siang akhirnya benar-benar tenggelam dalam pentas sejarah. Periode selanjutnya yang mendominasi hanyalah kerajaan kembar Gowa - Tallo (Kerajaan Makassar), Kerajaan Bone dan Kerajaan Luwu. Ketiga, Abad XIX – Revolusi Fisik dan Masa Pembangunan. Pada masa ini Kerajaan kecil atau unit teritori politik, seperti Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Marang, Segeri dan Mandalle bangkit melakukan perlawanan terhadap penjajahan Belanda. Pada periode ini muncul tokoh-tokoh pergerakan dengan basis dan gerakan perjuangan yang rapi, yang berani mengangkat senjata merebut dan mempertahankan kemerdekaan itu hampir merata di semua wilayah adatgemenschap. Tokoh pergerakan seperti A. Mappe, La Sameggu Dg Kalaebbu, Andi Maruddani Karaeng Bonto-Bonto, dan lain sebagainya hanyalah sebagian kecil dari tokoh-tokoh pejuang kemerdekaan dari Pangkep. (Makkulau, 2005)

Catatan Kaki :
[1] Seperti halnya Mattulada (1982), Mas’ud (1997) juga mengakui, bahwa masa antara Abad I - Abad X merupakan masa gelap bagi sejarah Sulawesi selatan. Kondisi yang ada di Sulawesi Selatan pada masa tersebut hingga kini belum terungkap sama sekali. Hal ini jika dibandingkan dengan daerah lain, maka terasa terdapat banyak kekurangan sumber sejarah tentang Sulawesi Selatan. Tidak seperti Kerajaan Kutai, Kerajaan Tarumanegara, Kerajaan Majapahit, Kerajaan Sriwijaya, Kerajaan Sanjaya, dan lain sebagainya yang meninggalkan banyak peninggalan purbakala.
[2] Lihat : Fadillah, et. al, Kerajaan Siang Kuna – Sumber Tutut, Teks dan Tapak Arkeologi, Balai Arkeologi Makassar – UNHAS, Makassar : 2001. Kehadiran Informasi Antonio de Payva yang pernah berkunjung ke Siang antara tahun 1542 dan 1548 justru pada saat Siang sedang menurun pengaruhnya sampai kemudian akhirnya dijadikan palili / kerajaan bawahan oleh Gowa sejak masa pemerintahan Karaeng Tumapakrisika Kallonna. (Andaya, 1981 dan 2004, dalam Fadillah et.al, 2001).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2007. Sejarah dan Kebudayaan Pangkep. Penerbit Kantor Informasi dan Komunikasi Pemkab Pangkep.

Sabtu, 25 April 2009

Sejarah Kekaraengan Mandalle

La Pallawarukka Daeng Mallawa, Regent Mandalle. Wafat tahun 1909. (Sumber lukisan : Maddusila AM)

PADA mulanya kekaraengan Mandalle terbentuk dari peleburan tiga persekutuan hukum adat yang didirikan oleh orang Bugis, yaitu Katena, Mallawa, dan Mandalle. Menurut cerita, yang pertama – tama berdiri ialah Katena yang melingkupi daerah Kampung Boddie, Katena, Manggalung, Macciniajo, dan LokkaE. Arajang dari Katena adalah sebilah bajak (rakkala). Kemudian barulah berdiri persekutuan hukum Mallawa dan persekutuan hukum Mandalle. Dalam Abad XVII, ketiga persekutuan hukum adat itu mengakui kekuasaan tertinggi (souverniteit) dari Kerajaan Gowa. (Benny Syamsuddin, 1985).
Kepala persekutuan Mandalle digelar pada waktu itu Lokmo. Menurut nota Admiral Cornelis Speelman, Tahun 1669, persekutuan – persekutuan hukum adat Katena, Mallawa dan Mandalle, pada waktu itu tidak lagi masuk daerah kekuasaan Gowa, akan tetapi masuk daerah kekuasaan Kerajaan Tanete, keadaan mana berjalan sampai tahun 1824, yaitu sewaktu Belanda menaklukkan Tanete dalam suatu peperangan. Antara Tahun 1824 dan 1829 ketiga persekutuan hukum adat tersebut, menjelma menjadi satu keregent-an (regentschap) dengan nama Mandalle. Yang mula – mula menjadi Kepala Regent di Mandalle ialah Mallewai Daeng Manimbangi, anak dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung (kemudian digelari MatinroE ri Lalengtedong) di daerah Laut, yaitu seorang keturunan dari Raja Tanete dan Luwu. Beliau adalah putera dari Datu Marioriwawo yang bernama La Mauraga Daeng Malliungang (Matinroe ri Mallimongang).
Dalam Lontara’ Bilang (Buku Harian) Raja Gowa dan Tallo’, tercatat bahwa Lokmo Mandalle berangkat dengan tidak lebih dari Sembilan perahu ke Bima dan menaklukkan kerajaan itu. Setelah La Mallewai Daeng Manimbangi wafat (MatinroE ri Kekeang) dalam tahun 1848, maka beliau digantikan oleh puteranya yang bernama La Sumange Rukka Karaeng Kekeang. Dalam tahun 1861, beliau digantikan oleh saudaranya yang bernama La Pallawarukka Daeng Mallawa. Sewaktu beliau wafat dalam tahun 1909, Keregent-nan Mandalle dihapuskan dan digabungkan dengan Keregent-nan Segeri dengan surat keputusan Gubernoumen tanggal 27 Juni 1910 N0. 34.
Sepuluh tahun kemudian, yaitu pada Tahun 1819, Mandalle dicabut dari Keregent-nan Segeri dan dijadikan kembali sebagai kekaraengan yang berdiri sendiri sebagaimana telah dijelaskan di awal. Yang diangkat menjadi Karaeng di Mandalle, menurut surat penetapan Gubernur Celebes dan daerah takluknya tanggal 18 Desember 1819 No. 241/XIX ialah La Dongkang Daeng Massikki yang beristerikan I Tuwo Petta Boddi, puteri dari Regent Mandalle, La Pallawarukka Daeng Mallawa. La Dongkang Daeng Massikki adalah putera dari Kepala Regent Pangkajene, La Djajalangkara Daeng Sitaba, cucu dari La Abdul Wahab Mattotorangpage Daeng Mamangung tersebut dari garis keturunan La Mauraga Dg Malliungang Datu Mario ri Wawo Matinroe’ ri Malimongang, Tahun 1801.
Pada masa pemerintahan Hindia Belanda, Menurut Staatsblad (lembaran Negara No. 352 tahun 1916, ditetapkan Onderfadeeling Pangkajene, terdiri dari lima district adat, yaitu gemeenschap (kekaraengan) Pangkajene, Labakkang, Balocci, Ma’rang dan Segeri. Nanti pada Tahun 1918, atas dasar surat dari “Eeste Gouvneur Sekretaries, 4 Agustus 1917 maka Gouverneur van Celebes en Ondehorigheden (Gubernur Celebes dan daerah takluknya melalui suratnya tanggal 13 Juli 1918, No.124 / XIX memecah wilayah adat gemeenschap Segeri menjadi wilayah adat gemeenschap Segeri dan wilayah adat gemeenschap Mandalle.
Dengan demikian, resmilah Mandalle sebagai salah satu dari tujuh wilayah karaeng adatgemeenschap Onderafdeeling Pangkajene, setelah dua hari sebelumnya juga telah dilakukan pemecahan wilayah adat gemeenschap Pangkajene, ditambah wilayah karaeng adatgemeenschap Bungoro. Kekaraengan Mandalle dalam Tahun 1920 diketahui terdiri atas 15 Kampung (Benny Syamsuddin, 1985), yaitu :
1. Kampung Katena
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
2. Kampung Macciniajo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
3. Kampung Boddie
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
4. Kampung Malawa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
5. Kampung Topong
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
6. Kampung Lokkae
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
7. Kampung Manggalung
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
8. Kampung Gallaraja
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
9. Kampung Gallalau
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
10. Kampung Mandalle
(Kepala Kampungnya bergelar Gallarang) ;
11. Kampung Tamarupa
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
12. Kampung Kekeang
(Kepala Kampungnya bergelar Jennang) ;
13. Kampung Mangaracamlompo
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa) ;
14. Kampung Mangaracamcaddi
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa)
15. Kampung Lamasa
(Kepala Kampungnya bergelar Matowa).
Beberapa Karaeng Mandalle yang populer dan masih segar dalam memori masyarakat Mandalle ialah La Dongkang Daeng Massikki (Karaeng Mandalle, 1918) [1], yang kemudian digantikan oleh puteranya, Andi Mandatjingi [2]. Karaeng Andi Mandacingi dikawinkan dengan Tenri Olle, seorang puteri bangsawan dari seorang kerabatnya dari Maros. Kemudian ia menikah lagi dengan Andi Amatullah Sompa Warune, puteri Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng [3]. Dari perkawinan Andi Mandacingi dengan Andi Amatullah Sompa Warune ini menurunkan putera puterinya, yaitu Andi Dharifah Tenri Awaru (1940), Andi Saiful Muluk Tenri Angka (1942), Andi Fahru Pallawa Rukka (1945), Andi Haerul Muluk Sumange Rukka (1947), Andi Nohar Tenri Esa (1950), Andi Ajaib Singkeru Rukka (1956), dan Andi Syafril Hazairin Tappu Rukka (1963). Pada masa menjalankan pemerintahan sebagai Karaeng Mandalle, Andi Mandacingi juga merangkap Ketua Dewan Hadat Pangkajene saat kekaraengan Pangkajene dipegang oleh Andi Burhanuddin, beliau kemudian digantikan oleh adiknya bernama Andi Sakka sebagai Karaeng Mandalle yang terakhir.


Catatan Kaki :
[1] La Dongkang Daeng Massikki ini bersaudara dengan La Mauraga Dg Malliungang dan La Mattotorang Dg Mamangung (keduanya Karaeng Pangkajene). Ketiganya adalah anak dari Karaeng Pangkajene, La Djajalangkara Dg Sitaba, Karaeng Pangkajene, 1873 dari garis keturunan La Pappe Daeng Massikki (Karaeng Pangkajene Matinroe ri TumampuE, 1857/1885) yang juga bersaudara dengan La Mallewai Dg Manimbangi (Karaeng Mandalle, 1829) dari garis keturunan La Abdul Wahab Mattotorangpage Dg Mamangung Karaeng Segeri Karaeng Lau ri Marusu Matinro-E ri Lalengtedong, 1829. (Benny Syamsuddin, 1989 : 36). La Dongkang Dg Masikki berputera puteri 4 orang, yaitu Andi Mandacingi, Tenri Kawari Karaeng Bau, diperisterikan oleh Andi Mappe Dg Massikki Karaeng Lau ri Marusu, Andi Sakka Petta Lolo (Sullewatang Mandalle), dan Andi Enrekang (Petta Enre).
[2] Andi Mandacingi, sebagaimana sepupu satukalinya, Andi Burhanuddin, Karaeng Pangkajene (1942-1946) adalah pejuang dan perintis kemerdekaan RI, beliau berdua adalah pelopor berdirinya Barisan Pemuda Merah Putih (BPMP), organisasi kelaskaran dan kejuangan di Pangkep yang gesit melawan Belanda dan Pasukan Sekutu (NICA). Setelah keduanya tidak aktif lagi sebagai Karaeng Mandalle dan Karaeng Pangkajene mereka diminta sebagai residen diperbantukan di Kantor Gubernur Sulawesi. (Makkulau, 2007).
[3] Andi Amatullah Sompa Warune, yang diperisterikan Andi Mandacingi adalah seorang puteri bangsawan yang terpelajar, lulusan pendidikan HIS di Sengkang sehingga beliau banyak memahami dan membantu suaminya dalam perjuangan kemerdekaan. Andi Amatullah Sompa Warune adalah puteri pasangan Andi Singkeru Rukka Arung Ujung Soppeng dengan Andi Cakkupe puteri dari La tenri Dolong Baso Bila Datu Citta. Tenri Dolong sendiri adalah putera dari La Mattalatta Arung Bila dengan isterinya Datu Walie Petta Bulu Langi. La Mattalatta putera dari Taggamette Datu Citta dengan isterinya I Hindong Arung Bila puteri La Pute Isi. Adapun Tagamette bersaudaranya diantaranya La Patau Datu Tanete adalah putera dari La Maddusila To Pangewa Datu Tanete dengan isterinya Tenri Seno ( I Seno Tenri Bali ) Datu Citta puteri dari La Mappaossang, Mangkaue ri Bone XXII (Raja Bone ke-22). (Sumber : H Maddusila, AM).
Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Sejarah Kekaraengan Balocci

KEKARAENGAN Balocci dikepalai oleh seorang Karaeng, didampingi oleh 9 Kepala Kampung, 5 diantaranya bergelar Karaeng, seorang bergelar Sullewatang dan 3 orang bergelar Gallarang (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989). Kesembilan kampung dalam wilayah kekaraengan Balocci tersebut ialah Balocci, Padang Tangngaraja, Padang Tangngalau, Bulu – bulu, Birao, Bantimurung, Malaka, Lanne dan Tondongkura. (Makkulau, 2005). Awalnya Lanne dan Tondongkura mengakui kekuasaan Karaeng Labakkang, kemudian kekuasaan Gowa dan Bone. Kedua kampung itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri dan mempunyai arajang yang terdiri dari selembar bendera yang dinamai “BolongngE”. (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989).
Kampung Lanne dan Tondongkura itu merupakan sebuah persekutuan hukum tersendiri. Ketika Labakkang mengakui kekuassan Kerajaan Gowa, Lanne dan Tondongkura menggabungkan diri dalam kekuasaan Kerajaan Bone. Arajangnya terdiri dari selembar bendera dan sebilah kelewang, baru sewaktu ada Controleur ditempatkan di Camba [1], yaitu pada tahun 1862, Lanne dan Tondongkura dimasukkan ke dalam kekuasaan Kekaraengan Balocci. Sementara Kampung Bantimurung dan Malaka didirikan oleh anggota keluarga dari Karaeng Balocci. Yang merupakan Hadat Balocci adalah Galla’ Bulu – Bulu, Galla Padangtangaraja dan Galla Balocci. Arajang dari Balocci terdiri dari selembar petaka merah yang dinamai “Calla’ka” yang berasal dari Gowa. Demikian Notitie Goedhart dan Abdur Razak Dg Patunru mencatatnya. (Benny Syamsuddin, Bulletin KKSS : 1989 dalam Makkulau, 2005).
Sampai penulisan buku ini dalam tahap penyelesaian, tidak didapatkan keterangan atau sumber informasi yang dapat menuturkan perjalanan sejarah kekaraengan Balocci ini, paling tidak mulai dari Karaeng Balocci I sampai Karaeng Balocci VI. Menurut H Andi Muin Dg Mangati, sebelum Karaeng Tinggia (Karaeng Balocci IX) memerintah, yang masih sempat dikenal ialah Karaeng Ammoterang Dg Pabali (Karaeng Balocci VII) dan Daeng Pabeta (Karaeng Balocci VIII). Karaeng Balocci sebelum ketiga karaeng ini sudah tidak terlacak nama, pemerintahan dan tempat wafatnya. Karaeng Ammoterang Dg Pabali dikenal sebagai karaeng Balocci yang selalu membangkang terhadap Pemerintah Belanda dan akhirnya dibuang ke Selayar [2]. Penggantinya adalah saudaranya sendiri, Daeng Pabeta.
Karaeng Tinggia sendiri memerintah sebelum tahun 1881. Karaeng ini digantikan oleh menantunya, Karaeng Pattoddo, oleh karena Karaeng Tinggia ini tidak mempunyai putera, hanya mempunyai anak dua orang puteri, yaitu Karaeng Tompobalang dan Karaeng Basse Donggo. Puteri pertama, Karaeng Tompobalang inilah yang dikawinkan dengan Karaeng Pattoddo (Karaeng Balocci X), yang memerintah selama 30 tahun, dari tahun 1881 – 1911 yang mana pada periode kekuasaannya masih berjalan pemerintahan Bila – Bila Pitue dan Lebbo TengngaE (Camba).
Di masa pemerintahan Karaeng Pattoddo, dia sempat melaporkan Controleur (Petero Pangkajene) karena menebang dan mengambil 40 Pohon Cendana di wilayah Tonasa (Kawasan situs prasejarah Sumpangbita sekarang). Karaeng Pattoddo mengajukan gugatan ke pengadilan dan akhirnya Petero tersebut divonis mengganti kerugian sebesar 1 (satu) ringgit perak per satu pohon. Tiada berselang lama dengan peristiwa terbunuhnya Petero Camba yang berujung pada pembubaran pemerintahan di Camba dan wilayahnya digabungkan dengan Onderafdeeling Maros, termasuk Balocci. Selama kurang lebih 2 (dua) tahun, karena faktor pertimbangan wilayah, Balocci kemudian digabung dengan Onderafdeeling pangkajene.
Karena Controleur Pangkajene masih ada dendam terhadap Karaeng Pattoddo akibat peristiwa ganti rugi penebangan Pohon Cendana di Balocci maka Petero Pangkajene ini mengupayakan agar Karaeng Pattoddo secepatnya diganti yang mana penggantinya diangkat bukan dari keturunannya. Pemerintah Hindia Belanda kemudian memilih dan mengangkat Karaeng Balocci dari kalangan kepala – kepala kampung / gallarang yang dinilai memiliki pengaruh dan kelebihan kepemimpinan dibanding dari yang lainnya, dan akhirnya terpilihlah Gallarang Tondongkura, H A Kadir Dg Matteppo sebagai Karaeng Balocci XI.
Peralihan kekuasaan kekaraengan Balocci dari Karaeng Pattoddo kepada HA Kadir Dg Matteppo ditandai pula peralihan pengendalian pemerintahan kekaraengan oleh Pemerintah Hindia Belanda. Terhitung mulai Tahun 1916, Balocci dimasukkan sebagai salah satu dari lima district adatgemeenschap (kekaraengan) dalam wilayah Onderafdeeling Pangkajene, yaitu Pangkajene, Balocci, Labakkang, Ma’rang dan Segeri. Hal ini didasarkan pada Recht-gemeenschapen (peraturan – peraturan hukum) Onderafdeeling Pangkajene sebagaimana termuat dalam Staatsblad (lembaran negara) No 352 Tahun 1916.
Pada masa pemerintahan Karaeng Balocci XI, H. A. Kadir Dg Matteppo, mengalami banyak gangguan terhadap pemerintahannya yang dilakukan oleh pengikut dan keluarga dari Karaeng Patoddo, namun berkat kelihaian dan strategi kawin mawin yang dijalankannya akhirnya lambat laun gangguan pemerintahan itu berkurang sampai akhirnya reda dengan sendirinya [3]. Karaeng H A Kadir Dg Mattepo akhirnya dapat memerintah dengan tenang selama 26 tahun, yaitu dari tahun 1911 – 1937. Beliau ini digantikan oleh puteranya dari isteri pertamanya, yaitu H A Rahim Dg Masalle sebagai Karaeng Balocci XII [4].
Periode pemerintahan H A Rahim Dg Masalle merupakan pemerintahan kekaraengan Balocci yang terakhir. Beliau ini memerintah selama 25 tahun, yaitu dari tahun 1937 – 1962. Situasi pemerintahannya mengalami beberapa masa yaitu masa penjajahan Belanda, masa pendudukan Jepang, masa datangnya pasukan sekutu / NICA , masa perjuangan mempertahankan kemerdekaan, dan masa pemberontakan Kahar Muzakkar (hingga Desember 1951) [5].
Setelah masa kekacauan yang ditimbulkan oleh gerakan DI / TII Pimpinan Kahar Musakkar dapat dipulihkan, maka timbul pula gerakan – gerakan lain yang meronrong pemerintahan kekaraengan Balocci yang dipimpin oleh M Yunus Dg Pasanrang. Namun kekacauan tersebut berakhir dengan sendirinya setelah turunnya restu HA. Mallarangeng Daeng Matutu [6] terhadap M Yunus Dg Pasanrang sebagai Kepala Distrik Balocci, yang selanjutnya menjadi Kepala Wilayah Kecamatan Balocci (Periode 1962 – 1965).

Catatan Kaki :
[1] Controleur Camba ketika itu membawahi tujuh wilayah adatgemeenschap / kekaraengan, yaitu Cenrana, Camba, Laiyya, Mallawa, Balocci, Gattareng Matinggi dan Wanua Waru. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati)
[2] Menurut H Andi Muin Dg Mangati, Salah satu ‘kenakalan’ Karaeng Ammoterang Dg Pabali adalah tindakannya yang menyuruh pengikutnya untuk mencuri ternak – ternak Belanda kemudian dipenggal kepalanya, dan kepala – kepala ternak Belanda itu ditanam dibawah kolong rumahnya. Akibat tindakannya tersebut memicu kemarahan Belanda karena merasa dipermalukan, mendapati ternaknya mati tanpa kepala di kandangnya. (Wawancara dengan Penulis).
[3] Strategi kawin mawin yang dijalankannya ialah dengan mengawinkan anak / keturunan H. A. Kadir Dg Patteppo dengan anak / keturunan Karaeng Pattoddo. Akibatnya keluarga / pengikut Karaeng Pattoddo merasa bahwa tidak perlu ada lagi yang dikhawatirkan karena penerus kekaraengan tetap masih dalam keturunannya. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati, 2007).
[4] Karaeng Balocci XI, H.A. Kadir Dg Patteppo memiliki 10 anak dari dua orang isteri. Dari isteri pertamanya, Puang Moncong lahir anak tunggal, yaitu H.A. Rahim Dg Masalle yang kemudian diangkat sebagai Karaeng Balocci XII menggantikan ayahnya. Dari isteri keduanya, A. Abeng Dg Manutte lahir 9 orang anak, yaitu Puang Lae, Puang Minya’, Puang Sau’, Puang Taba, Puang Sohra, Puang Massang, Puang Ngasina, Puang Sompa, dan Puang Ngerang. (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati, 2007).
[5] Pada masa yang terakhir ini, pemerintahan Distrik adatgemeenschap Balocci sempat dipindahkan ke Pangkajene disebabkan kompi dari Batalyon 427 ditarik kembali ke Pangkajene untuk menghadapi pasukan Kahar Musakkar, malahan beredar informasi bahwa pasukan Kahar Musakkar akan menyerang Pos TNI di Balocci. Pada tahun 1954 kembali Kekaraengan adatgemeenschap Balocci dipusatkan kembali di Balocci karena Batalyon 514 berhasil merebut daerah itu dari tangan pasukan Kahar Musakkar. Kesatuan silih berganti dari kesatuan Brawijaya dan pada Tahun 1958 kesatuan Batalyon 715 mengambil alih pengamanan di Balocci. Pada pertengahan 1959, Pos TNI di Balocci diserang secara besar – besaran dengan dipimpin langsung oleh Kahar Musakkar. Ratusan korban yang jatuh di kedua belah pihak. Banyak rakyat Balocci digiring masuk hutan, namun pada akhirnya Batalyon 715 dapat membebaskannya. (Informasi ini sebagaimana yang dituturkan H Andi Muin Dg Mangati kepada penulis, 2007).
[6] H. A. Mallaraengeng Dg Matutu adalah Kepala Daerah / Bupati Pangkep yang pertama (1960 – 1966).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama Balocci

KECAMATAN Balocci ---juga Kecamatan Tondong Tallasa serta sebagian wilayah pegunungan Bungoro--- melengkapi sebutan “Pangkep sebagai Kabupaten Tiga Dimensi” karena wilayah ini merupakan daerah dataran tinggi. Kecamatan Balocci ini terletak di sebelah selatan dan timur Kota Pangkajene, berbatasan dengan Kabupaten Maros dan Bone. Daerah Balocci ini terkenal dengan potensi pertanian dan perkebunannya, selain potensi kawasan karst dan hutan lindung didalamnya.
Kata “Balocci” secara harfiah diduga berasal dari kata “Ballo Kecci”, yang berarti arak kecut. Dahulu daerah ini merupakan tempat asal para pemberani (to-barani - tobarani) yang mempunyai kebiasaan minum arak (anginung ballo’), sabung ayam (assaung jangang / massaung manu), judi (abbotoro’). Kebiasaan ini adalah kebiasaan umum masyarakat pada masa itu. Tidak disebut seseorang itu pemberani jika tidak melakoni kebiasaan – kebiasaan tersebut diatas. Para pemberani di Balocci itu mendapatkan julukan “Koro – korona Balocci”, karena kebiasaan yang terkenalnya meminum “Ballo Kecci” dan memang ballo’ yang terkenal di Balocci pada masa itu adalah Ballo Kecci. (Wawancara H Andi Muin Dg Mangati)
Pada masa itu berkembang cerita---semacam sumpah---bahwa jika sudah tidak ada “Koro – korona Balocci” di Balocci maka ada tiga hewan yang juga tidak bolah berbunyi di Balocci. Tiga hewan itu ialah tokke’, jala’ dan bukkuru’. Sampai sekarang ketiga hewan ini tidak pernah terdengar di daerah Balocci, malahan menurut penduduk setempat jika mereka ke daerah (kecamatan) lain kemudian mendengar suara tokke’, maka suara tokke’ tersebut seketika akan berhenti jika dikatakan, “nia tau Balocci anrinni”. (Makassar : Ada orang Balocci disini) atau “engka’ to-Balocci koe” (Bugis : Ada orang Balocci disini). (Wawancara penulis dengan H Andi Muin Dg Mangati).
Versi lain sehubungan dengan cerita ini menurut Dg Palopo ialah jika ada keturunan Tobarani Balocci (Koro-korona Balocci) yang tinggal di luar Balocci kemudian melihat burung jala’ maka burung jala’ tersebut tidak akan berumur lama (paling lambat dua hari setelah dilihat maka burung tersebut sudah mati). Entah benar atau tidak, yang pasti cerita ini telah berkembang menjadi semacam mitos atau legenda tentang Tobarani Balocci, barangkali hal ini berkaitan dengan “pengetahuan tertentu” atau kesaktian yang terwariskan secara turun temurun. (Wawancara penulis dengan M Taufiq S Dg Palopo).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama Labakkang

Rumah Adat Karaeng Labakkang (foto : farid)

LABAKKANG Dewasa Ini merupakan salah satu kecamatan dalam lingkup Kabupaten Pangkep. Pada masa pemerintahan kekaraengan, Labakkang merupakan salah satu wilayah adatgemeenschap dalam wilayah Onderafdeeling Pangkajene, selain Pangkajene, Bungoro, Balocci, Ma’rang, Segeri dan Mandalle. (Benny Syamsuddin : 1989). Kecamatan Labakkang ini, menurut Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe, (Karaeng Labakkang terakhir) adalah bekas tanah kerajaan pada Tahun 937 sampai 1378 dimana rajanya bergelar Somba atau Sombayya. (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 3).
Kata “Labakkang” (Bahasa Makassar) secara harfiah berasal dari kata ”Labba” yang artinya luas atau lebar. Dalam terminologi bahasa Makassar, aklaba berarti melebarkan. Bisa juga diartikan pelesir atau istirahat. Jadi, arti kata Labakkang yang sesungguhnya ialah suatu tempat yang biasa digunakan untuk istirahat (tempat melepas lelah) ; tempat persinggahan ; atau tempat rekreasi. Dugaan penulis, penamaan ini mengacu kepada luasnya bentangan wilayah pesisir dari ujung utara sampai ke ujung selatan sepanjang pantai baratnya, disamping karena daerah ini banyak dikunjungi pada pendatang dari luar daerah yang akhirnya menetap dan berketurunan disitu.
Sementara Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe, Karaeng Labakkang ke 22 ini mengungkapkan bahwa kata ” Labakkang ” (Bahasa Makassar) berasal dari kata ” A’labba ” yang berarti lebar dan ” A’gang ” yang berarti berteman atau bersatu. Kedua kata ini, menurutnya mengacu kepada Kondisi wilayah Labakkang yang luas / lebar serta karakter masyarakat Labakkang yang suka berteman. Hal ini mendapatkan konfirmasi di lapangan bahwa masyarakat Kecamatan Labakkang dihuni oleh dua etnis mayoritas, yakni etnis Bugis pada bagian timurnya dan etnis Makassar pada bagian baratnya (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6).
Kenyataan ini menurut Andi Bahoeroe Karaeng Gaoe (Karaeng Loloa) karena pada waktu itu Somba Labakkang meminta bantuan orang – orang dari Bone dan Soppeng untuk membuka hutan dan lahan pertanian untuk bercocok tanam pada bagian timur Labakkang sehingga pendatang Bugis tersebut akhirnya menetap disitu secara turun temurun. Begitu pula halnya dengan kedatangan Orang – orang dari Gowa dan Galesong ke Labakkang bagian barat untuk menetap, membuka hutan dan bercocok tanam dengan persetujuan Somba Labakkang. Pada waktu itu Labakkang sangat terkenal dengan potensi hasil pertaniannya sehingga daerah ini banyak didatangi oleh orang – orang Bugis dan Makassar dari berbagai daerah. Kedua etnis ini hidup rukun dan damai. (Nyonri, Disbudpar Pangkep, 2007 : 6).
Dari sejumlah kerajaan yang pernah ada di Sulawesi Selatan, hanya tiga kerajaan yang diketahui rajanya bergelar “sombaya” yang berarti raja yang disembah, yaitu hanya Kerajaan Gowa, Kerajaan Bantaeng dan Kerajaan Labakkang. Sampai kira – kira Tahun 1653 Masehi, Kerajaan Labakkang bernama Kerajaan Lombasang. Perubahan nama dari Lombasang menjadi Labakkang menurut Sejarawan Daerah, (alm) Abdur Razak Daeng Patunru adalah atas perintah Sultan Hasanuddin setelah naik takhta dalam tahun 1653 sebagai Raja Gowa ke XVI [1]. Abdur Razak Daeng Patunru dalam tulisannya tersebut tidak menyebutkan alasan Sultan Hasanuddin sehingga merubah nama Lombasang menjadi Labakkang. Diduga perubahan itu didasari atas kesamaan nama Lombasang dengan nama kecil Sultan Hasanuddin, I Mallombasi [2].

Catatan Kaki :
[1] Lihat : Majalah Bingkisan No. 7 Tahun II Terbitan Mei 1969, yang diterbitkan oleh Yayasan Kebudayaan Sulawesi Selatan Tenggara
[2] Nama lengkap Sultan Hasanuddin, Raja Gowa XVI ialah, I Mallombasi Daeng Mattawang Karaeng Bontomangape, Sultan Hasanuddin.

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).

Asal Muasal Nama 'Pangkajene'


PANGKAJENE saat ini adalah nama bagi kecamatan yang menjadi pusat Pemerintahan Kabupaten Pangkep (ibukota kabupaten). Kecamatan ini di sebelah selatannya berbatasan dengan Kecamatan Balocci dan Minasatene, sebelah utaranya berbatasan dengan Kecamatan Bungoro, dan sebelah baratnya berbatasan dengan Kecamatan Liukang Tupabbiring.
Luas wilayah kecamatan ini adalah 45,339 km2, terdiri atas bentangan kawasan persawahan, empang, dan wilayah pesisir yang menjadi mata pencaharian utama masyarakatnya sebagai petani, petambak dan nelayan. Bagian tengah wilayah kecamatan ini membujur sungai pangkajene yang membelah wilayah kota kecamatan daratan Pangkep, sebelah utara sungainya adalah Balocci, Minasatene dan Pangkajene dan sebelah selatan sungainya adalah Pangkajene, Bungoro, Labakkang, Ma’rang, Segeri dan Mandalle.
Pada sebelah barat dari ujung sungai Pangkajene tersebut terdapat muara sungai yang bercabang, yang oleh masyarakat setempat menyebutnya dengan sebutan “Appangkai Je’neka”, suatu sebutan umum yang kemudian menjadi nama daerah ini “Pangkajene”. Jika kita berbicara atau menyebut nama “Pangkajene”, maka sesungguhnya kita berbicara atau menyebut sebuah identitas : To Pangkajene, Karaeng Pangkajene, Kota Pangkajene, Pasar Pangkajene, Sungai Pangkajene, Jembatan Pangkajene, Kecamatan Pangkajene dan saat ini “Pangkajene” adalah sebuah identitas bagi ibukota Kabupaten Pangkep.
Kata “Pangkajene” (Bahasa Makassar), berasal dari dua kata yang disatukan, yaitu “Pangka” yang berarti cabang dan “Je’ne” yang berarti air, dinamai demikian karena pada daerah yang dulunya merupakan wilayah kekuasaan Kerajaan Barasa itu, terdapat sungai yang bercabang, yang sekarang dinamai Sungai Pangkajene. Sampai saat ini penulis belum mendapatkan keterangan yang tegas, sejak kapan nama “Pangkajene” menggantikan nama yang popular sebelumnya, ‘Marana’. Menurut beberapa sumber, awalnya yang dikenal adalah Kampung Marana, dan sungai yang membelah kota Pangkajene sekarang ini dulunya bernama Sungai Marana.
Kampung Marana terletak di sebelah utara sungai tua, sekitar Lembaga Pemasyarakatan lama (sekarang dijadikan tempat Pos Polisi dan Sekretariat Pemuda Pancasila) melebar ke Terminal Kompak, jadi lipat dua kali lebarnya dibanding sungai yang ada sekarang, tepatnya berada di jantung kota Pangkajene sekarang, sedangkan kampung – kampung tua yang ada di sekitar pinggiran sungai sekarang dari timur sampai ke barat antara lain Kampung Sabila, Ujung LoE, Tumampua, Jagong, Purung – Purung, Toli – Toli dan Lomboka, sedangkan bagian utara sungai, yaitu dari Pabundukang, Bone – bone, Kajonga, Palampang, Binanga Polong, Bucinri sampai ke Padede dan Kampung Solo.
Jika kita menelusuri asal muasal pemberian nama – nama kampung yang telah disebutkan diatas---menurut beberapa sumber penulis---hal itu berkaitan erat dengan perebutan hegemoni kekuasaan antara Gowa dan Bone di bekas wilayah Kerajaan Siang dan Barasa (disebut Bundu Pammanakang). Kampung yang disebut Pabundukang itu awalnya adalah sebuah padang yang cukup luas, dimana menjadi tempat pertempuran antara laskar Bone dan Gowa, sedangkan Kampung Sabila diambilkan dari nama bangsawan Bone yang bertempur dan tewas di tempat itu, yaitu Arung Sabila. Begitu pula Kampung Bone-bone, yang pernah dihuni oleh mayoritas orang Bone. (M Taliu, 1997)
Menurut M Taliu (1997), Kampung “Tumampua” (sekarang Kelurahan Tumampua) awalnya adalah kampung yang dihuni mayoritas orang – orang Bone berdarah Siang dengan menggunakan Bahasa Bugis, sedangkan Kampung Jagong (sekarang Kelurahan Jagong) dihuni oleh masyoritas orang – orang Gowa yang menuturkan Bahasa Makassar. Masing – masing hidup berdampingan karena mendapat suaka politik dari sejak masih adanya pengaruh Siang / Barasa sampai Gowa dan Bone silih berganti memperebutkannya untuk dijadikan palili / daerah taklukan, sedangkan Andi Syahrir (mantan Anggota DPRD Pangkep 1999 – 2004) mengurai bahwa Tu-mampua bermakna Orang mampu karena kampong tersebut didirikan oleh La Tenriaji To Senrima, Bangsawan Bone yang sangat kaya [1]. (Wawancara dengan penulis)
Antara Kampung Solo dan Kampung Lomboka, sungai tersebut terbagi dua muaranya karena di depannya terdapat hutan bakau akibat aktifitas erosi, disekitarnya terdapat Kampung Polewali dan Lomboka. Pada percabangan sungai tersebut, dahulunya banyak digunakan sebagai tempat aktifitas perdagangan. Dimana saja ada muara sungai yang bercabang, biasa disebut “Appangkai Je’neka” maka daerah itu akan menjadi ramai. Sekarang tempat dimana terdapat (berdekatan) dengan percabangan sungai tersebut sudah sejak lama ramai karena dijadikan tempat pelelangan ikan. Penduduk setempatnya menyebutnya Lelonga. (M Taliu, 1997)
Dahulu terdapat tiga sungai besar yang mengelilingi Kampung Marana yang menjadikannya tempat strategis transportasi karena berada di persimpangan sungai tua dari Paccelang, sungai tua dari Baru – baru dan sungai tua dari Siang (SengkaE). Ketiga sungai tersebut menjadikan Kampung Marana ramai karena berada di persimpangan cabang sungai (Bahasa Makassar : Pangkana Je’neka) dan di situ pula terjadi pertemuan dalam ikatan janji, baik dalam bentuk persahabatan, memperkuat jalinan kekerabatan maupun untuk kepentingan perdagangan. Pedagang yang akan memasarkan hasil bumi dan dagangannya biasanya mengadakan perjanjian dengan ucapan, “Anjorengpaki sicini ripangkana je’neka” (nanti kita bertemu di cabang air), yang dimaksudkan sesungguhnya tempat yang dituju adalah muara Sungai Marana (sekarang Sungai Pangkajene).

Catatan Kaki :
[1] Menurut Andi Syahrir, yang akrab dipanggil Puang Cali (mantan Anggota DPRD Pangkep 1999 – 2004), menyebutkan bahwa Kampung Tumampua itu didirikan oleh Raja Bone XIV, La Tenriaji To Senrima (saudara dari raja Bone XIII, la Maddaremmeng Matinroe ri Bukaka). (Sumber : A Syahrir, wawancara dengan penulis). Penulis memang mendapatkan keterangan bahwa Raja Bone ini melakukan peperangan terhadap Kerajaan Gowa karena menganggap apa yang dilakukan Gowa dengan serangan militernya ke Bone adalah bentuk penjajahan suatu Negara atas Negara lain, melanggar kedaulatan Kerajaan Bone, meskipun Gowa beralasan bahwa peperangan yang dilakukannya adalah dalam rangka proses pengislaman. La Tenriaji To Senrima tertangkap, ditawan, dan diasingkan ke Siang. (lihat. A. Sultan Kasim, 2002). Pada waktu diasingkan ke Siang inilah, dibuka Kampung yang sampai sekarang masih ada---dinamai “Tumampua”—yang menurut Andi Syahrir berarti orang – orang yang mampu. Pada masa pemerintahan Bupati HM Arsyad B sempat diubah namanya menjadi Padamampu, yang sekali lagi menurut A Syahrir berarti sama – sama mampu (Wawancara dengan penulis). Barangkali penyebutan nama Kampung Tumampua ini menurutnya merujuk kepada bangsawan – bangsawan Bone yang diasingkan di tempat itu adalah orang – orang yang mampu, baik mampu secara materil maupun mampu dalam arti mampu melakukan perlawanan terhadap dominasi Kerajaan Gowa yang pada masa itu berada di puncak keemasannya. Dalam sejarah, hal ini kemudian terbukti karena La Tenriaji To Senrima mampu melarikan diri dari pengasingan dan bangkit lagi melakukan perlawanan sampai kemudian Bone meraih kemerdekaan tidak lama setelah kedatangan Arung Palakka yang bersekutu dengan Belanda menyerang Gowa. Arung Palakka La Tenritatta To Appatunru Daeng Serang Petta Malampeq Gemmekna adalah Raja Bone XV yang diangkat menggantikan La Tenriaji To Senrima (Raja Bone XIV). (Makkulau, 2006). Mengenai asal usul penamaan Kampung Tumampua ini, penulis berpendapat berbeda dengan yang telah dikemukakan sebelumnya, bahwa Tumampua bukanlah berarti orang yang mampu, tetapi Tumampua berarti orang yang berasal dari Mampua. (Tu = orang ; Mampua = nama negeri atau kerajaan kecil di Bone). Akhiran “a” diduga menunjukkan tempat, yaitu Mampua. Kata “mampu” dalam arti kaya atau mampu dalam arti yang sebenarnya adalah Bahasa Indonesia, bukanlah berasal dari Bahasa Bugis. Jadi, bukan Tumampu, tapi Tumampua. Sebagaimana dalam Sejarah Bone diketahui bahwa La Tenriaji To Senrima (Raja Bone XIV) yang kalah perang dari gabungan pasukan Gowa – Wajo – Luwu dalam Bunduka ri Pasempe (Bugis : Musu Pasempe, 1646) kemudian diasingkan ke Siang bersama pengikut – pengikutnya yang setia, sebagian besar diantaranya berasal dari Mampua bersama rajanya, Arung Mampu. (Makkulau, 2006 ; lihat pula, A. Sultan Kasim, 2002 : 64 – 67).

Sumber :
Makkulau, M. Farid W. 2008. Sejarah Kekaraengan di Pangkep. Penerbit Pemkab Pangkep bekerjasama dengan Pustaka Refleksi : Makassar. ISBN. 979967321-6. (Hak Cipta Dilindungi Undang - Undang).