Sabtu, 25 April 2009

Tallu Cappa’

SALAH Satu hal yang menarik untuk menjadi bahan renungan atau bahan pelajaran dari cara Tu-Riolo Bugis Makassar dalam mengendalikan kekuasaan politik dan jaringan perniagaannya adalah kebiasaannya menempatkan seseorang dalam posisi jabatan atau kepercayaan tertentu berdasarkan penilaian Tallu Cappa atau Tiga Ujung. Tallu Cappa yang penulis maksudkan disini ialah Cappa Lila (Ujung Lidah atau kecerdasan), Cappa Badik (Ujung Badik atau keberanian), dan Cappa Laso (Ujung Kemaluan atau perkawinan).
Berdasarkan penilaian Tallu Cappa tersebut, Orang Bugis Makassar mengharapkan kesuksesan yang besar dalam perniagaan atau kuatnya dominasi politik dalam dinasti kekuasaan yang dapat bertahan lama. Para saudagar dan punggawa yang berhasil membangun jaringan bisnisnya tidak akan menurunkannya kepada seseorang yang tidak memenuhi kriteria Tallu Cappa tersebut diatas. Jaringan perniagaan dan kekayaan hanyalah dapat diturunkan kepada seseorang yang cerdas, berani dan orang tersebut haruslah keluarga terdekatnya. Bisa diturunkan atau ditularkan kepada saudara, ipar, anak, menantu, cucu, yang memenuhi kriteria Tallu Cappa itu. Begitu pula yang berlaku terhadap pewarisan kekuasaan politik Bugis Makassar yang menganut sistem monarki (kerajaan).
Pengertian Cappa Lila (kecerdasan) menurut pemahaman tu-riolo tentu saja tidak diukur dari tinggi rendahnya sekolah yang pernah dijalaninya. Karena, praktis sekolah sebagaimana yang ada sekarang belumlah ada pada waktu itu. Menurut mereka, “Riasengnge’ Macca Eppa’i : Naitai Riyolona Gau’E Najeppuiwi munrinna, Mappasitinajai ada Mappasiratang wenru’, Saroi Mase’ Risilasanae’ Pakkutanai Alena, Poadai ada Matojo EnrengngE ada Malemma.” (Yang disebut cerdas ada empat : Menyelami latar belakang persoalan dan mengetahui benar akibatnya, Melayakkan kata dan memantaskan sesuatu, Merendahkan diri selayaknya selaras dengan harga dirinya, serta dapat mengucapkan kata tegas dan lemah lembut).
Begitu pula keberanian yang tidak selalu mereka pahami sebagai keberanian dalam menggunakan badik atau keterampilan membunuh. Bagi mereka keberanian itu laksana permata yang harus dimiliki. Keberanian dalam arti ada kemampuan membela, menjaga, atau mempertahankan harga diri dan martabat keluarga. Keberanian dalam arti dapat memelihara siri’-nya. Keberanian dalam arti jujur, mampu dengan tegas menyatakan suatu yang benar sebagai kebenaran dan menunjukkan bahwa yang salah itu memang salah. “Eppa Uwangenna Paramata Mattappa : Seuwani, LempuE Maduanna, TongengngE sibawa Tette-E Matellunna, SiriE sibawa Getteng Maeppa’na, AkkalengngE sibawa Nyamengkininnawa (Ada Empat macamnya permata yang bersinar : Pertama, Kejujuran. Kedua, Kebenaran yang disertai ketetapan. Ketiga, Harga Diri (malu) yang disertai teguh pendirian. Keempat, Akal pikiran beserta baik hati (peramah)”.
Bagi orang Bugis Makassar, kecerdasan dan keberanian merupakan modal utama yang harus dimiliki dalam melakukan kebaikan. Tidak ada kebaikan kalau seseorang itu tidak cerdas. Tidak ada kebaikan kalau seseorang itu tidak berani. Kebaikan hanya dapat dilakukan oleh orang yang cerdas dan berani. Hal inilah yang dipahami tu-riolo sebagai kebaikan, “Naiya riyasengnge Madeceng : Malempu’ gau’i, Tekkacinna-cinnai rianutessi tinajaE, Teppuadai Belle-belle Ritimunna, Sabbara’i Ripadanna tau, Metau’i ri DewataE. Yang dimaksud dengan Kebaikan : Jujur dalam perbuatan, Tak berminat pada yang patut, Tidak mengatakan dusta, Sabar terhadap sesamanya manusia, Takut kepada Tuhan.
Dengan pemahaman seperti tersebut diatas, akan semakin jelas bahwa tu-riolo Bugis Makassar menilai kecerdasan tidak semata – mata dari kepiawaian berbicara tapi lebih kepada kandungan makna dari yang terucapkan dan kemampuan memposisikan diri yang baik di tengah masyarakat. Sementara keberanian tidak selalu berarti kejantanan (maskulinitas) dalam arti kesombongan fisik dan bicara, unjuk gigi, kemampuan berbuat salah, menganiaya atau mendzalimi orang lain, dan lain semacamnya. Sehingga ada pesan tu-riolo yang mengatakan, “Tangnga’i Gau’mu naiya Anre’ Guru. Mualai MadecengngE’ Mutetangngi majaE’. Apa’ iya AdaE’ Sionrongmui ja’na sibawa decenna’, Makkuwamutoi Nawa-nawaE’. Amatilah perbuatanmu dan kau jadikanlah guru. Petiklah yang baik dan kau tinggalkan yang buruk, sebab bicara itu tempatnya keburukan dan kebaikan, demikian pula pikiran”.
Sementara Cappa Laso atau Cappa Buto disini dimaknai sebagai perkawinan. Kekuasaan atau kekayaan itu dalam perspektif tu-riolo Bugis Makassar dapat diperoleh, diperluas dan diperbanyak dengan adanya perkawinan. Itu pula sebabnya dulu, banyak yang mengungkapkan bahwa banyak kali kawin, banyak kali harta, makin banyak anak makin banyak harta. Makna lain dari Cappa Laso (perkawinan) disini ialah nepotisme. Sehingga ada keterkaitan bahwa secara tidak langsung tu-riolo Bugis Makassar beranggapan bahwa tidak boleh kekuasaan atau kekayaan itu keluar dari lingkungan keluarga atau kekerabatan. Kerajaan Bisnis harus dibangun atau terbangun dalam lingkaran kekerabatan. Begitu pula kekuasaan politik.
Menurut Anwar Ibrahim, Dosen Fakultas Sastra UNHAS, pernah mensinyalir bahwa orang Bugis yang berhasil dalam bisnis dan politik dari daerah sampai pusat yang menggunakan filosofi Tallu Cappa dalam setiap keputusan politik dan bisnisnya adalah Yusuf Kalla, Wakil Presiden RI saat ini. Siapa yang dapat membantah hubungan kekerabatannya dengan Aksa Mahmud. Siapa yang dapat menyangkal komisaris, direktur utama, ataupun posisi top manager lainnya yang ditempatkannya pada semua perusahaan keluarga yang tergabung dalam Kalla Group, sehingga ada guyon yang mengatakan bahwa kalau anda ingin sukses se-sukses Yusuf Kalla mulailah belajar menyelami filosopi Tallu Cappa tersebut. Kayaknya hal ini pula yang mengilhami sebagian birokrat yang menjadi ”raja-raja” kecil di daerah setelah pemberlakuan otonomi daerah, serta bagi – bagi proyek yang tidak boleh keluar dari lingkaran kekerabatan. Jadi, siapa bilang orang Bugis Makassar tidak kenal yang namanya nepotisme. (rid)