Sawerigading adalah Putra Raja Luwu Batara Lattu’, dari Kerajaan Luwu Purba,
Sulawesi Selatan, Indonesia. Dalam bahasa setempat, sawerigading
berasal dari dua kata, yaitu sawe yang berarti menetas
(lahir), dan ri gading yang berarti di atas bambu betung.
Jadi, Sawarigading berarti keturunan dari orang yang menetas (lahir) di
atas bambu betung. Menurut cerita, ketika Bataraguru (kakek
Sawerigading yang merupakan keturunan dewa) pertama kali diturunkan
ke bumi, ia ditempatkan di atas bambu betung. Sawerigading mempunyai
saudara kembar perempuan yang bernama We Tenriabeng. Namun, sejak
kecil hingga dewasa mereka dibesarkan secara terpisah, sehingga
mereka tidak saling mengenal. Suatu ketika, saat bertemu dengan adik
kandungnya itu, Sawerigading jatuh cinta dan berniat untuk
melamarnya. Berhasilkah Sawerigading menikahi We Tenriabeng, saudara
kandungnya itu? Kisah selengkapnya dapat Anda ikuti dalam cerita
Sawerigading berikut ini.
* * *
Alkisah, di daerah Luwu, Sulawesi Selatan, hiduplah seorang raja
bernama La Togeq Langiq atau lebih dikenal dengan panggilan Batara
Lattu’. Sang Raja mempunyai dua istri, yaitu satu dari golongan
manusia biasa (penduduk dunia nyata) bernama We Opu Sengngeng, dan
satu lagi berasal dari bangsa jin. Dari perkawinannya dengan We Opu
Sengengeng lahir sepasang anak kembar emas, yakni seorang laki-laki
bernama Sawerigading, dan seorang perempuan bernama We Tenriabeng.
Berdasarkan ramalan Batara Guru (ayah Raja Luwu), Sawerigading dan
We Tenriabeng kelak akan saling jatuh cinta dan menikah. Padahal
menurut adat setempat, seseorang sangat pantang menikahi saudara
kandung sendiri. Agar tidak melanggar adat tersebut, Raja Luwu pun
membesarkan kedua anak kembarnya tersebut secara terpisah. Ia
menyembunyikan anak perempuannya (We Tenriabeng) di atas loteng
istana sejak masih bayi.
Waktu terus berjalan. Sawerigading tumbuh menjadi pemuda yang gagah
dan tampan, sedangkan We Tenriabeng tumbuh menjadi gadis yang cantik
jelita. Namun, sepasang anak kembar tersebut belum saling mengenal.
Pada suatu hari, Sawerigading bersama sejumlah pengawal istana
diutus oleh ayahnya berlayar ke Negeri Taranati (Ternate) untuk
mewakili Kerajaan Luwu dalam sebuah pertemuan para pangeran. Namun
sebenarnya tujuan utama Sawerigading diutus pergi jauh ke Ternate
karena saudara kembarnya We Tenriabeng akan dilantik menjadi bissu
dalam sebuah upacara umum, yang tentu saja tidak boleh dihadirinya
karena dikhawatirkan akan bertemu dengan We Tenriabeng.
Dalam perjalanan menuju ke Negeri Ternate, Sawerigading mendapat
kabar dari seorang pengawalnya bahwa ia mempunyai saudara kembar
yang cantik jelita. Sawerigading tersentak kaget mendengar kabar tersebut.
“Apa katamu? Aku mempunyai saudara kembar perempuan?” tanya
Sawerigading dengan kaget.
“Benar, Pangeran! Saudaramu itu bernama Tenriabeng. Ia disembunyikan
dan dipelihara di atas loteng istana sejak masih kecil,” ungkap
pengawal itu.
Sekembalinya dari Ternate, Sawerigading langsung mencari saudara
kembarnya yang disembunyikan di atas loteng istana. Tak pelak lagi,
Sawergading langsung jatuh cinta saat melihat saudara kembarnya itu
dan memutuskan untuk menikahinya. Raja Luwu Batara Lattu’ yang
mengetahui rahasia keluarga istana tersebut terbongkar segera
memanggil putranya itu untuk menghadap.
“Wahai, Putraku! Mengharap pendamping hidup untuk saling
menentramkan hati bukanlah hal yang keliru. Tapi, perlu kamu ketahui
bahwa menikahi saudara kandung sendiri merupakan pantangan terbesar
dalam adat istiadat kita. Jika adat ini dilanggar, bencana akan
menimpa negeri ini. Sebaiknya urungkanlah niatmu itu, Putraku!”
bujuk Raja Luwu Batara Lattu’.
Namun, bujukan Ayahandanya tersebut tidak menyurutkan niat
Sawerigading untuk menikahi adiknya. Namun, akhirnya Sawerigading
mengalah setelah We Tenriabeng memberitahunya bahwa di Negeri Cina
(bukan Cina di Tiongkok, tapi di daerah Tanete, Kabupetan Bone,
Sulawesi Selatan) mereka mempunyai saudara sepupu yang sangat mirip
dengannya.
“Bang! Pergilah ke Negeri Cina! Kita mempunyai saudara sepupu yang
bernama We Cudai. Ayahanda pernah bercerita bahwa aku dan We Cudai
bagai pinang dibelah dua,” bujuk We Cudai.
“Benar, Putraku! Wajah dan perawakan We Cudai sama benar dengan
adikmu, We Tenriabeng,” sahut Raja Luwu Batara Lattu’.
Untuk membuktikan kebenaran kata-katanya, We Tenriabeng memberikan
sehelai rambut, sebuah gelang dan cincinnya kepada Sawerigading. We
Tenriabeng juga berjanji jika perkataannya tidak benar, ia
berbersedia menikah dengan Sawerigading.
“Bang! Jika rambut ini tidak sama panjang dengan rambut We Cudai,
gelang dan cincin ini tidak cocok dengan pergelangan dan jarinya,
aku bersedia menikah dengan Abang,” kata We Tenriabeng.
Akhirnya, Sawerigading pun bersedia berangkat ke Negeri Cina,
walaupun dihatinya ada rasa kecewa kepada orang tuanya karena tidak
diizinkan menikahi adiknya. Untuk berlayar ke Negeri Cina,
Sawerigading harus menggunakan kapal besar yang terbuat dari kayu
welérénngé (kayu belande) yang mampu menahan hantaman badai dan
ombak besar di tengah laut.
“Wahai, Putraku! Untuk memenuhi keinginanmu memperistri We Cudai,
besok pergilah ke hulu Sungai Saqdan menebang pohon welérénngé
raksasa untuk dibuat perahu!” perintah Raja Luwu Batara Lattu’.
Keesokan harinya, berangkatlah Sawerigading ke tempat yang dimaksud
ayahnya itu. Ketika sampai di tempat itu, ia pun segera menebang
pohon raksasa tersebut. Anehnya, walaupun batang dan pangkalnya
telah terpisah, pohon raksasa itu tetap tidak mau roboh. Namun, hal
itu tidak membuatnya putus asa. Keesokan harinya, Sawerigading
kembali menebang pohon ajaib itu, tapi hasilnya tetap sama. Kejadian
aneh ini terulang hingga tiga hari berturut-turut. Sawerigading pun
mulai putus asa dan hatinya sangat galau memikirkan apa gerangan
penyebabnya.
Mengetahui kegalauan hati abangnya, pada malam harinya We Tenriabeng
secara diam-diam pergi ke hulu Sungai Saqdan. Sungguh ajaib! Hanya
sekali tebasan, pohon raksasa itu pun roboh ke tanah. Dengan ilmu
yang dimilikinya, We Tenriabeng segera mengubah pohon raksasa itu
menjadi sebuah perahu layar yang siap untuk mengarungi samudera luas.
Keesokan harinya, Sawerigading kembali ke hulu Sungai Saqdan. Betapa
terkejutnya ia ketika melihat pohon welérénngé raksasa yang tak
kunjung bisa dirobohkannya kini telah berubah menjadi sebuah perahu
layar.
“Hai, siapa yang melakukan semua ini?” gumam Sawerigading heran.
“Ah, tidak ada gunanya aku memikirkan siapa yang telah membantuku
membuat perahu layar ini. Yang pasti aku harus segera pulang untuk
menyiapkan perbekalan yang akan aku bawa berlayar ke Negeri Cina,”
pungkasnya seraya bergegas pulang ke istana.
Setelah menyiapkan sejumlah pengawal dan perbekalan yang diperlukan,
berangkatlah Sawerigading bersama rombongannya menuju Negeri Cina.
Dalam perjalanan, mereka menemui berbagai tantangan dan rintangan
seperti hantaman badai dan ombak serta serangan para perompak.
Namun, berkat izin Tuhan Yang Mahakuasa, Sawerigading bersama
pasukannya berhasil melalui semua rintangan tersebut dan selamat
sampai di tujuan.
Setibanya di Negeri Cina, Sawerigading mendengar kabar bahwa We
Cudai telah bertunangan dengan seorang pemuda bernama Settiyabonga.
Namun, hal itu tidak menyurutkan niatnya untuk melihat langsung
kecantikan wajah We Cudai. Untuk itu, ia pun memutuskan untuk
menyamar menjadi pedagang orang oro (berkulit hitam). Untuk memenuhi penyamarannya, ia harus mengorbankan satu nyawa orang oro sebagai
tumbal. Pada mulanya, orang oro yang akan dijadikan tumbal tersebut
mengiba kepadanya.
“Ampun, Tuan! Jika kulit saya dijadikan pembungkus tubuh Tuan, tentu
saya meninggal.”
Namun, setelah Sawerigading membujuknya dengan tutur kata yang
halus, akhirnya orang oro itu pun bersedia memenuhi permintaannya.
Setelah itu, Sawerigading segera menuju ke istana sebagai oro
pedagang. Setibanya di istana, ia terkagum-kagum melihat kecantikan
We Cudai.
“Benar kata Ayahanda, We Cudai dan We Tenriabeng bagai pinang
dibelah dua. Perawakan mereka benar-benar serupa,” ucap Sawerigading.
Setelah membuktikan kecantikan We Cudai, Sawerigading segera
mengirim utusan untuk melamarnya dan lamarannya pun diterima oleh
keluarga istana Kerajaan Cina. Namun, sebelum pesta pernikahan
dilangsungkan, We Cudai mengirim seorang pengawal istana untuk
mengusut siapa sebenarnya calon suaminya itu.
Suatu hari, utusan itu mendekati perahu layar Sawerigading yang
tengah bersandar di pelabuhan. Kebetulan, saat itu para pengawal
Sawerigading yang berbulu lebat sedang mandi. Utusan itu ketakukan
saat melihat tampang mereka yang dikiranya “orang-orang biadab” dan
mengira bahwa wujud Sawerigading serupa dengan mereka. Ia pun segera
kembali ke istana untuk menyampaikan kabar tersebut kepada We Cudai.
Mendengar kabar tersebut, We Cudai pun berniat untuk membatalkan
pernikahannya dan mengembalikan semua mahar Sawerigading.
Sawerigading yang mendengar kabar buruk tersebut segera menghapus
penyamarannya sebagai orang oro dan mengenaikan pakaian
kebesarannya, lalu segera menghadap Raja Cina. Sesampainya di
istana, ia pun segera menceritakan asal-usul dan maksud
kedatangannya ke Negeri Cina.
“Ampun, Baginda Raja! Perkenalkan nama Ananda Sawerigading Putra
Raja Luwu Batara Lattu’ dari Sulawesi Selatan. Ananda datang
menghadap membawa amanat Ayahanda, dengan harapan sudilah kiranya
Baginda menerima Ananda sebagai menantu Baginda,” ungkap
Sawerigading.
“Hai, Anak Muda! Kamu jangan mengaku-ngaku! Apa buktinya bahwa kamu
adalah putra dari saudaraku itu?” tanya Raja Cina.
Sawerigading pun segera memperlihatkan sehelai rambut, sebuah gelang
dan cincin pemberian We Tenriabeng kepada Raja Cina seraya
menceritakan semua kejadian yang dialaminya hingga ia bisa sampai ke
Negeri Cina. Mendengar harapan dan permohonan saudaranya melalui
keponakannya itu, Raja Cina terdiam sejenak, lalu berkata:
“Baiklah! Sekarang aku percaya bahwa kamu adalah keponakanku.
Ayahandamu dulu pernah mengirim kabar kepadaku bahwa ia mempunyai
anak kembar emas. Anaknya yang perempuan wajah dan perawakaannya
serupa dengan putriku.”
Untuk lebih meyakinkan dirinya, Raja Cina segera memanggil putrinya
untuk menghadap. Tak berapa lama, We Cudai pun datang dan duduk di
samping ayahandanya. Saat melihat pemuda tampan yang duduk di
hadapan ayahandanya, We Cudai tampak gugup dan hatinya tiba-tiba
berdetak kencang. Rupanya, ia jatuh hati kepada pemuda itu yang tak
lain adalah Sawerigading.
“Ada apa gerangan Ayahanda memanggil Ananda?” tanya We Cundai
tertunduk malu-malu.
“Wahai Putriku, ketahuilah! Sesungguhnya orang yang melamarmu
beberapa hari yang lalu ternyata sepupumu sendiri. Namanya
Sawerigading. Ayahanda bersaudara dengan ayahnya. Tapi, untuk
menyakinkan kebenaran ini, cobalah kamu cocokkan panjang rambut ini
dengan panjang rambutmu dan pakailah gelang dan cincin ini!” pinta
Raja Cina seraya memberikan sehelai rambut, sebuah gelang dan cincin
itu kepada putrinya.
Setelah We Cudai mengenakan gelang dan cincin tersebut, maka semakin
yakinlah Raja Cina bahwa Sawerigading benar-benar keponakannya.
Gelang dan cincin tersebut semuanya cocok dikenakan oleh We Cudai.
Begitu pula rambutnya sama panjangnya dengan rambut We Tenriabeng.
“Bagaimana, Putriku! Apakah kamu bersedia menerima kembali lamaran
Sawerigading untuk mempererat tali persaudaraan kita dengan keluarga
Sawerigading di Sulawesi Selatan?” tanya Raja Cina.
“Baik, Ayahanda! Jika Ayahanda merestui, Ananda bersedia menikah
dengan Sawerigading. Ananda mohon maaf karena sebelumnya mengira
Sawerigading bukan dari keluarga baik-baik,” jawab We Cudai
malu-malu.
Betapa bahagianya perasaan Raja Cina mendengar jawaban putrinya itu.
Demikian pula yang dirasakan Sawerigading karena lamarannya
diterima. Dengan perasaan bahagia, ia segera kembali ke kapalnya
untuk menyampaikan berita gembira itu kepada para pengawalnya dan
memerintahkan mereka untuk mengangkat semua barang bawaan yang ada
di perahu ke istana untuk keperluan pesta. Tiga hari kemudian,
pesta pernikahaan itu pun dilangsungkan dengan meriah. Segenap
rakyat Negeri Cina turut berbahagia menyaksikan pesta pernikahan
tersebut.
Setahun kemudian, Sawerigading dan We Cudai dikaruniai oleh seorang
anak dan diberi nama La Galigo. Namun, bagi We Cudai, kebahagiaan
tersebut terasa belum lengkap jika belum bertemu dengan mertuanya.
Suatu hari, ia pun mengajak suaminya ke Sulawesi Selatan untuk
mengunjungi mertuanya. Mulanya, Sawerigading menolak ajakan
istrinya, karena ia sudah berjanji tidak ingin kembali ke kampung
halamannya karena kecewa kepada kedua orang tuanya yang telah
menolak keinginannya menikahi saudara kembarnya. Namun, karena
istrinya terus mendesaknya, akhirnya ia pun menyetujuinya.
Keesokan harinya, berangkatlah sepasang suami istri itu bersama
beberapa orang pengawal menuju Negeri Luwu. Akan tetapi, mereka
tidak membawa serta putra mereka (La Galigo) karena masih bayi.
Dalam perjalanan, Sawerigading bersama rombongannya kembali menemui
banyak rintangan. Perahu yang mereka tumpangi hampir tenggelam di
tengah laut karena dihantam badai dan gelombang besar. Berkat
pertolongan Tuhan Yang Mahakuasa, mereka pun selamat sampai di
Negeri Luwu.
Setelah bertahun-tahun lamanya Sawerigading bersama istrinya tinggal
di Negeri Luwu terdengarlah kabar bahwa di Tanah Jawa berkembang
ajaran agama Islam. Sawerigading pun segera memerintahkan pasukannya
untuk memerangi ajaran tersebut. Namun apa yang terjadi setelah
pasukannya tiba di Tanah Jawa? Rupanya, mereka bukannya memerangi
penganut ajaran agama tersebut, tetapi justru berbalik memeluk agama
Islam. Bahkan sebagian anggota pasukannya memutuskan untuk menetap
di Tanah Jawa. Sementara anggota pasukan lainnya kembali ke Negeri
Luwu untuk melaporkan kabar tersebut kepada Sawerigading dan
sekaligus mengajaknya untuk memeluk agama Islam. Karena kesal atas
penghianatan pasukannya itu dan tidak ingin masuk agama Islam,
Sawerigading bersama istrinya memutuskan untuk kembali ke Negeri
Cina dan berjanji tidak ingin menginjakkan kaki lagi di Negeri Luwu.
Dalam perjalanan pulang ke Negeri Cina, kapal yang mereka tumpangi
karam di tengah laut. Konon, pasangan suami istri tersebut menjadi
penguasa buriq liu atau peretiwi (dunia bawah laut).
* * *
Demikian cerita Sawerigading dari daerah Luwu, Sulawesi Selatan.
Cerita di atas termasuk kategori legenda yang mengandung pesan-pesan
moral yang dapat dijadikan pedoman dalam kehidupan sehari-hari.
Pesan moral yang dapat dipetik dari cerita di atas adalah ganjaran
yang diterima dari sifat tidak mudah putus asa. Sifat ini
ditunjukkan oleh perilaku Sawerigading yang senantiasa tabah dalam
menghadapi berbagai rintangan dan cobaan untuk mencapai
keinginannya, yakni menikahi We Cudai yang berada di Negeri Cina.
Dikatakan dalam tunjuk ajar Melayu:
apa tanda Melayu beradat,
bekerja dengan penuh semangat
kerja cermat membawa berkah
kerja hemat membawa manfaat
kerja keras memberi puas
kerja tabah memberi tuah
kerja taat membawa berkat.
(Samsuni/sas/135/04-09)
Sumber:
Isi cerita diadaptasi dari H. Abdul Muthalib dan Muhammad Yusran. 2003.
Cerita Rakyat dari Sulawesi Selatan 2. Jakarta: Grasindo.
Anonim. “Sawerigading,”
(http://id.wikipedia.org/wiki/Sawerigading, diakses pada tanggal 4
April 2009.
Ahmad Maulana. “Mengenal Sosok Sawerigading,”
diakses pada tanggal 4 April 2009.
Anonim. “Sawerigading,”
http://www.luwuutara.go.id/media/sawerigading.pdf, diakses pada
tanggal 4 April 2009.
Christian Pelras. 2006. Manusia Bugis. Jakarta: Nalar bekerja sama
dengan Forum Jakarta-Paris, EFEO.
Tenas Effendy. 2006. Tunjuk Ajar Melayu. Yogyakarta: Balai Kajian
dan Pengembangan Budaya Melayu bekerja sama dengan Penerbit AdiCita Karya Nusa.
Yusi Avianto Pareanom.
http://majalah.tempointeraktif.com/id/cetak/2002/04/08/IQR/mbm.20020408.IQR78481.id.html, diakses pada tanggal 4 April 2009.